Jumat, 10 Oktober 2014

Keteladanan Murobbi


Pernahkah Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushaf dan Anda mulai membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa) sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya? 

Hal tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.

Itulah buah dari keteladanan. Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.


Oleh karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua) untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina. Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).

Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum? Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.

Keteladanan Rasulullah SAW.
Sebagai murabbi Rasulullah saw. selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28), qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan (An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).

Sebagai murabbi, Rasulullah saw. tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya aku megutus seseorang di antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim).

Rasulullah juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini dapat dilihat dari dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan Rasulullah saw. “Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. pada peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ” “Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu.” Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut secara perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.

Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”

Keteladanan Para Sahabat r.a.
Di antara para sahabat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan hijrah ke Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut sebagai murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih belum legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk Umar bin khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih tarbawy dengan membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu, barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya tarbiyah aqidiyah.

Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat, lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor. Dengan ketegasan sebagai murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan memerangi mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar, ajabbaarun fil jahiliyah hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni ‘uqqaalu ba’iirin yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa saalifaty, sampai engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun mereka tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan kepada Rasulullah, maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat leherku terputus.”

Bahkan keteladan Abu Bakar sebagai murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkret agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain. Misalnya pada saat sebagian besar para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan. Sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara ia berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia turun, Abu Bakar saja yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan Allah.”

Keteladanan Ulama Salafusshalih
Salah satu di antara mereka adalah Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau memimpin halaaqah (kelompok pengajian) besar di Masjidil Haram semasa Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah. Khalifah sering menghadiri halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah seorang habsyi (negro asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita penduduk Kota Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran Islam.

Keteladanan Atho bin Abi Rabaah sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman nasihatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu seperti yang dikisahkan Muhammad bin Suqah, salah seorang ulama Kufah, bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah menasihatinya, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari Al-Qur’an yang dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang diriwayatkan; atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah.” Kemudian beliau mengarahkan pandangannya kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu.”

Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.

Ketika aku dicukur, ia melihatku diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.” Maka aku pun bertakbir. Setelah selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia berkata, “Mau kemana kamu?” “Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu mencegahku seraya berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka.” Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana engkau dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?” “Demi Allah, aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,” jawab tukang cukur alim tersebut.

Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”

Adalah Said Ibnul Musayyib rahimahullah (juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh para murabbi). Ia memimpin halaqah yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si samping beliau, juga terdapat halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah rahimahumallah. Said Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah. Suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada yang tahu. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali sebagaimana biasa. Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja engkau, ya Aba Wada’ah?” “Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk mengurusinya,” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah isterimu serta membantu segala keperluanmu?” tanya Said kembali. “Jazaakallahu khairan,” jawab Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbinya.

Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya, “Apakah engkau belum terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa orangnya yang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir, dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan mengawiniku dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku.” “Ya, kenapa tidak? Karena kami jika sudah kedataangan seseorang yang kami ridha terhadap agamanya dan akhlaknya, maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau termasuk orang yang kami ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.

Lalu dipanggillah orang-orang yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikah dengan mahar sebanyak dua dirham. Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara kaget daan girang ia pulang menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan sepotong roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu. “Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah. “Said,” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.
Setelah dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya Aba Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu.” “Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah dipersilakan masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya. “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan syari’at Allah swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu.” Lalu Said menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu, wahai Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet (terinjak gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang aku juga cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa,” kata Abu Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.

Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.

Lain lagi dengan kisah Imam Abu Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya dalam. Manis tutur katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian. Jika beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di situ sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya. Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai murabbi yang dermawan. Maklum, beliau seorang saudagar pakaian, kain, dan sutera. Beliau berdagang berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah Irak.

Suatu ketika salah seorang muridnya datang ke tempat jualannya. Ia minta dicarikan baju, lalu beliau mencarinya sesuai dengan warna yang dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid. “Sedirham,” jawab Imam. “Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat murah. “Ya, segitu.” “Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak main-main. Aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang sisanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau mengambil untung terhadap murid-muridku.”

Suatu ketika Imam Abu Hanifah melihat salah seorang mutarabbinya berpakaian lusuh sehingga terkesan tidak enak dipandang. Setelah murid-murid yang lain keluar dari majelis, sehingga tidak ada seorangpun di dalam majelis itu selain Imam Abu Hanifah dengan mutarabbinya tersebut, beliau berkata kepadanya, “Angkatlah sajadah ini lalu ambil sesuatu yang ada di bawahnya.” Setelah diambilnya ternyata uang sebanyak seribu dirham. “Ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu,” tegas Imam Abu Hanifah. Lalu kata orang itu, “Aku sudah cukup. Allah telah melimpahkan nikmatnya kepadaku. Aku tidak membutuhkan uang ini.” Dengan cerdasnya Imam Abu Hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu, “Jika memang benar-benar telah melimpahkan nikmatnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatan-Nya itu? Bukankah Rasulullah saw. bersabda, ‘Innallaha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala ‘abdihi, sesungguhnya Allah swt. senang melihat bukti kenikmatan yang diberi-Nya terlihat pada hamba-Nya? Karena itu, sudah sepantasnya engkau memperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu.”

Itulah beberapa keteladan ulama salafussalih dalam mentarbiyah para mutarabbinya.
Wallahu ‘alamu bisshawaab.

Peranan Murobbi Membina Umat

Para murabbi harus punya visi yang jelas, di atas apa dan untuk apa ia mentarbiyah. Kalian sebagai murabbi harus yakin dengan kejelasan visi. Perhatikan ikatan ukhuwah. Kerana, syariah tidak akan tegak tanpa ukhuwwah, kerana itu, ikatan ukhuwah saya namakan rukun syariah dalam buku saya.

Masyarakat Islam yang tidak merealiasikan ukhuwah tidak akan mampu menerapkan syariah dengan benar. Ukhuwah menenangkan hati dan mengukuhkan kedudukan. Abdullah bin Umar berkata, Jika saya lakukan semua bentuk ibadah tanpa henti, tapi tidak mencintai saudara seiman, tidak ada manfaat dari ibadah saya itu.


Ibnu Taimiyah menyebut ukhuwah sebagai sebahagian dari akad dalam Islam. Bahkan, dalam hadis tujuh golongan yang dinaungi Allah di Padang Mahsyar salah satunya adalah dua orang bersaudara kerana Allah.

Dan, usrah dibuat untuk merealisasikan rukun ukhuwah. Dimana di dalam usrah masing-masing ikhwah/akhwat menjadi cermin bagi yang lain. Kerana, sebaik-baik orang adalah ketika kalian melihatnya ia mengingatkan kalian kepada Allah.

Usrah bukan untuk mencapai ilmu semata. Kerana, kalau kita baca buku di rumah berjam-jam, ilmu yang kita peroleh lebih banyak daripada yang kita dapat di tatsqif usrah. Ukhwah di dalam usrah dan jamaah adalah suatu proses yang panjang bagi membina generasi rabbani dengan shibghah Allah. Imam Al-Banna menjelaskan tujuan jamaah di dalam Risalah Muktamar Khamis:

Kita ingin mentarbiyah generasi rabbani dengan shibghah Allah, lalu dengan shibghah Allah itu mereka memberi pengaruh positif kepada masyarakat. Mengubah perilaku-perilaku rosak masyarakat dan membentuk mereka menjadi para penolong-penolong (ansar) dakwah.

Taujih dari Syeikh Jumaah Amin buat para murabbi (2012)


Murobbi Idaman dan Peranannya

Murobbi adalah seorang dai yang membina mutarobbi dalam halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua), dan shohabah (sahabat) bagi mutarobbinya. Dengan kompleksnya fungsi seorang murobbi maka menjadi sangat penting bahwa seorang murobbi harus menjadi idaman setiap mutarobbinya. Lalu seperti apakah murobbi idaman itu? Memang setiap orang mempunyai tipenya masing-masing, memiliki harapannya masing-masing, tapi setidaknya ada beberapa kriteria seorang Murobbi idaman menurut pendapat saya, diantaranya:
1.         Pandai membuat dan menguasai suasana
Keterampilan ini sangat penting dalam upaya membangun suasana yang menyenangkan bagi semua orang yang ada dalam lingkaran halaqoh. Dengan begitu, akan meningkatkan ketertarikan mutarobbi terhadap seorang murobbi sehingga mutarobbi akan lebih mudah untuk diberi suatu pemahaman tentang materi tertentu. Suasana yang hidup bisa membawa aura positif untuk membangkitkan semangat semua orang yang ada dalam halaqoh tersebut. Hal inilah yang akan membuat seorang murobbi untuk selalu rajin berangkat halaqoh dan tidak mengantuk saat penyampaian materi.
Penguasaan suasana juga perlu dikuasai oleh seorang murobbi, misalnya saja ada mutarobbi yang sedang sedih, maka sudah tentu murobbi harus mengusahakan untuk mencairkan suasana supaya mutarobbi bisa tersenyum kembali saat halaqoh.
2.         Pandai Mengajar dan Membimbing
Setiap orang memiliki karakter yang berbeda, oleh karena itu diperlukan suatu penanganan yang berbeda pula. Karena seorang murobbi memiliki tanggungjawab untuk membina mental, rohani dan bahkan fisik mutarobbinya, maka memberikan bimbingan dalam segala hal harus dilakukan oleh seorang murobbi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu komunikasi yang intens untuk selalu mengecek keadaan rohani dan jasmani mutarobbinya.
Cara pengajaran yang kreatif dan tidak materialistik (selalu mendektekan suatu materi) perlu diperhatikan. Hal ini untuk menghindari perasaan bosan mengikuti halaqoh. Misalnya saja, ketika materi tadabur alam maka bisa dilakukan dengan langsung pergi menikmati keindahan alam sehingga bisa meninggalkan bekas yang lebih mengena dari pada pemberan materi. Saat itu juga bisa disisipkan materi tentang makrifatullah.
Misalnya saja juga, ketika materi Makrifatulrosul, maka bisa dilakukan dengan pemberian shiroh nabi dan pemutaran video. Pengajaran dan pembimbingan yang inspiratif perlu usahakan oleh seorang murobbi supaya bisa mengena dan menyentuh hati mutarobbinya.
3.         Pandai Bergaul
Kemampuan bergaul sangat penting bagi seorang murobbi. Karena dengan kemampuan inilah, seorang murobbi bisa mengambil hati mutarobbi. Kemampuan murobbi yang mudah bergaul bisa menjadi nilai plus baginya. Seorang murobbi yang mudah bergaul dan cenderung supel akan membuat nyaman mutarobbinya, sehingga dengan adanya kedekatan ini maka akan membuat seorang mutarobbi tidak malu-malu untuk menceritakan permasalahan yang dialaminya, menanyakan tentang berbagai hal yang belum diketahui dan berdiskusi menyampaikan pendapatnya. Inilah yang perlu dibangun, karena seorang murobbi harus bisa masuk dan mengenal dekat mutarobbinya. Beda dengan seorang ustadz yang tidak harus mengenal semua jamaahnya.
Hubungan murobbi dan mutarobbi bisa disebut dengan kakak-adik atau bahkan teman, namun disini seorang murobbi harus tetap menjadi nahkoda dalam memutuskan setiap arah dari halaqoh yang dibimbingnya.
4.         Memiliki Pengetahuan Luas, baik itu Pengetahuan Agama Islam, Politik, Sosial maupun berbagai macam hal yang berkaitan dengan trend masa kini
Kenapa tidak hanya pengetahuan tentang agama islam? Hal ini karena kita adalah makhluk sosial yang tidak pernah bisa luput dari hubungan dan interaksi dengan orang lain. Mengetahui isu politik terbaru, mengetahui permasalahan sosial yang ada dimasyarakat sekarang dan mengetahui buku bacaan serta film terbaru juga cukup penting sebagai bagian dari seorang murobbi. Murobbi harus bisa mencakup segala kebutuhan setiap mutarobbinya yang berbeda-beda. Menyisipkan berbagai pengetahuan umum akan memberi kesan ringan terhadap materi yang diberikan. Bukankah setiap mutarobbi memiliki tingkat pengetahuan islam yang bebeda-beda, sehingga bagi yang belum memiliki rasa sense of belonging islam bisa tertarik pada materi. Diskusi tentang berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang dikaitkan dengan agama islam juga perlu dilakukan, karena dengan adanya suatu permasalahan sosial yang diangkat maka hal ini tentu akan menambah rasa keingintahuan mutarobbi tentang cara pandang islam. Secara tidak langsung bisa disisipkan nilai keislaman dalam setiap diskusi tersebut. Kesimpulan yang tidak menggurui bisa menjadi alat seorang murobbi untuk mengambil hati mutarobbi.
Selain itu, dengan adanya diskusi tentang isu politik, sosial dan trend terbaru bisa menambah pengetahuan mutarobbi dan menanamkan sikap peduli terhadap lingkungan. Bukankan tujuan dari halaqoh untuk meneruskan tali simpul dakwah? Sehingga dengan adanya kader islam yang berpengetahuan luas diharapkan bisa mempermudah kader islam untuk terjun kepada masyarakat lain dan mewarnai masyarakat itu. Hal itu juga akan memberi penilaian positif terhadap islam.
Misalnya saja, ketika seorang murobbi update tentang buku/novel terbaru, maka secara tidak langsung murobbi bisa mengambil hati mutarobbinya yang tertarik dengan buku. Kesan update harus dibangun dalam diri setiap murobbi supaya mutarobbi memiliki rasa tertarik dengannya.
Murobbi yang menarik hati mutarobbi harus diusahakan. Karena keberlangsungan suatu halaqoh, sedikit banya ditentukan oleh murobbinya. Tak sedikit teman saya yang tetap istiqomah dalam halaqoh karena tertarik dengan murobbinya. Oleh karena pentingnya seorang murobbi maka sudah seharusnya menyiapkan seorang murobbi yang bisa menjadi idaman. Setidaknya diawal pertemuan dan diawal pemahaman islam, peran murobbi idaman sangat berpengaruh pada mutarobbi, namun seiring perjalanan waktu ketika tujuan setiap mutarobbi telah beralih pada Allah, maka peran murobbi sudah sedikit bisa ditinggalkan.



Murobbi Paru-Paru Tarbiyah

Sungguh tarbiyah adalah nafas bagi kehidupan dakwah ini. Tarbiyah bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari tarbiyah, pernyataan itulah yang sering dilontarkan para aktifis dakwah. Tarbiyah sebagai nafas bagi kehidupan dakwah membutuhkan alat yang sempurna untuk terus bernafas. Alat yang sempurna itu adalah sang murabbi. Murabbi sebagai paru-parunya tarbiyah, tidak hanya sekedar alat untuk bernafas namun mempunyai fungsi yang besar bagi kehidupan dakwah.

Murabbi adalah seorang qiyadah (pemimpin), ustazd (guru), walid (orang tua) dan shohabah (sahabat) bagi madunya (binaanya). Peran yang multifungsi ini menyebabkan seorang murobbi harus memiliki keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Keterampilan yang akan berkembang seiring dengan pengetahuan dan pengalaman sang murabbi. Murabbi memiliki peranan lebih khusus karena ia melakukan takwin (pembinaan) yang lebih khusus sifatnya, dia tidak hanya mengukur keberhasilan pembinaan dari untaian materi yang disampaikan tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani, spiritual, dan social mutarobbinya. Namun terkadang hal ini menjadi penghalang seseorang untuk menjadi murabbi. Begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang murabbi terkadang membuat  kader dakwah mengundurkan diri dari bingkai tarbiyah. Adilkah ketika kita hanya ingin menjadi mutarabi selamanya?………Hanya mau dibina tanpa mau membina!………Tapi dengan keyakinan iman seharusnya masalah ini tidak menjadi kendala ditambah kalau kita menyadari bahwa membina berarti kita telah melaksanakan kewajiban syarI, menjalankan sunnah Rasul, mencetak pribadi-pribadi unggul, belajar berbagai keterampilan, meningkatkan iman dan taqwa dan merasakan manisnya ukhuwah islamiyah.

Murabbi sebagai seorang qiyadah (pemimpin), ustazd (guru), walid (orang tua) dan shohabah (sahabat) bagi madunya (binaanya) tentu harus memiliki karakter yang mampu menggabungkan kelima fungsi tersebut. Tepatnya murabbi dituntut untuk mempunyai karakter yang ideal bagi mutarabbinya. Wah..menjadi murabbi ideal???, memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi bagi seorang kader dakwah menjadi murabbi ideal ada harapan. Lalu bagaimana cara untuk menjadi seorang murabbi ideal???, seperti apa karakter ideal seorang murabbi???.

Seorang murabbi yang ideal mempunyai karakter yang fundamental. Satu, ikhlas, kenapa ikhlas?. Ikhlas adalah langkah awal bagi seorang murabbi untuk membina sebuah halaqah. Banyak hal yang akan dikorbankan oleh seorang murabbi. Korban uang, tenaga, waktu dan pikiran. Jika keikhlasan itu tidak ada mungkin kita segera berhenti dan membubarkan halaqah. Yakinlah bahwa ikhlaslah yang menjadikan segala terasa ringan. Banyak dari kisah para sahabat yang dapat kita jadikan sebagai contoh dari keikhlasan yang sempurna. Salah satunya Khalid bin Walid. Seorang panglima perang islam yang luar biasa. Yang selalu memperoleh kemenangan dengan strategi perang beliau yang tak terkalahkan. Namun di tengah berkecamuknya perang, Khalid bin Walid menerima surat tentang pemberhentian beliau sebagai panglima perang dan digantikan oleh seorang sahabat, Abu Ubaidah.. Tapi subhanallah, beliau membaca surat tersebut dengan tenang ia menyampaikan salam hormat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah sebagaimana seorang prajurit menyampaikan penghormatan kepada panglimanya. Abu Ubaidah bin Jarrah mengira sang panglima sedang bercanda. Setelah ia tahu peristiwa sebenarnya ia mencium kening Khalid karena takjub kepadanya. Demikianlah, Khalid menerima pemberhentianini dengan ikhlas

Dua adalah menjadi Qudwah, yaitu keteladanan sang murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita. Bahwa fatwa memang diperlukan, kata-kata nasihat masih dibutuhkan, namun keteladanan lebih dikenang dan lebih terpercaya untuk diikuti. Bagaimana jika ada seorang murabbi yang sering menasihati agar kita zuhud tapi ia sangat stres ketika kehilangan HP dan ketika mampu membeli HP baru ia memamerkannya dengan wajah yang cinta dunia. Mana yang diikuti mutarabbi?. Kita bisa meneladani kisah salah seorang sahabat yang menjadikan teladan sebagai hal yang harus dimiliki oleh seorang murabbi, Abu Hanifah. Ibnu Al-Mubarrok berkata : Pada suatu hari kami berada di masjid jami. Tiba-tiba ada ular jatuh tepat di dekat Abu Hanifah. Orang-orang pun melarikan diri. Aku lihat Abu Hanifah tetap tenang. Ia hanya mengibaskan ular tersebut, lalu duduk seperti semula.Coba kita bayangkan kalau Abu Hanifah ketakutan dan ikut lari sebagaimana orang lain. Mungkin orang-orang tidak begitu serius ketika beliau menasihati dan mentarbiyah mereka. Mungkin kewibawaan beliau tidak setinggi setelah peristiwa ini terjadi, setelah mereka benar-benar membuktikan ketenangan sang Imam yang kini lebih populer dengan nama Imam Hanafi.

Tiga adalah faham dan yakin akan fikrah islam, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman, rambu-rambu petunjuknya dan terhadap apa yang akan didakwahkannya. Serta keyakinan yang kuat terhadap fikrah islam. karena seorang murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang murabbi. Begitu banyak fikrah yang kini juga ikut meyakinkan umat ini akan solusi terhadap problematika kehidupan yang terjadi. Kalau para murabbi kemudian ragu-ragu akan efektifitas dan orisinalitas fikrah tarbiyah, lalu bagaimana dengan para mutarabbinya?

Empat adalah semangat mempelajari ilmu, Manusia tundukpada orang yang lebih alimInilah sunnah kauniyah yang harus disadari oleh murabbi. Keikhlasan saja tidak cukup. Kecepatan dalam berharakah saja tidak cukup. Betapa banyak halaqah yang kemudian bubar karena mereka tidak yakin dengan kafaah syari murabbinya. Kader-kader baru itupun kemudian berkesimpulan, kalau tarbiyah hanya seperti ini, lebih baik saya membaca buku di rumahyang lain berkata lebih baik mendengarkan pengajian di kaset dan radio, yang lain berkata lebih baik menghadiri majlis taklim harokah lain. Seorang murabbi ideal harus senantiasa menambah dan mempelajari ilmu agar tidak terjerumus kearah yang sesat dan menyesatkan.

Lima adalah berakhlak mulia, Innamal buitstu li utammimma makaarimal akhlaaq. Akhlak mulia adalah hal yang mutlak dimiliki oleh seorang murabbi. Jika seorang murabbi memiliki akhlak yang mulia maka mutarabbinya  akan hormat dan kagum kepadanya, sehingga tidak ada halangan yang akan membuat mutarabbi tidak memilihnya sebagai murabbinya.

Enam adalah tidak berhenti beramal, dakwah ini membutuhkan amal nyata untuk menyelesaikan problematika umat dan menunjukkan amalnya kepada Allah, Rasul, dan kaum mukminin. Dakwah ini harus membuktikan diri bahwa ia adalah rahamatan lil alamin. Para kadernya harus mampu menampilkan inilah kader qiyadah mujtamal muslim negarawan. Dakwah ammah senantiasa diperlukan bahkan perkembangannya harus sebanding dengan pesatnya pertumbuhan halaqah-halaqah. Dan ini tidak cukup hanya sekedar menjadi murabbi. Pada saat yang sama kita adalah aktifis dakwah, aktifis harokah. Jika murabbi berhenti beramal bagaimana dengan mutarabbinya, bagaimana bisa melahirakan generasi-generasi unggul yang akan menyelesaikan problematika umat ini.

Tujuh adalah takwiner. Lebih dari sekedar motivator. Seorang murabbi bukan sekedar motivator. Ia adalah guru, orang tua, sekaligus sahabat yang memiliki tugas besar membentuk mutarabbi mencapai muwashshofat kader dakwah. Tugas yang sangat berat dan perlu untuk dilakukan dengan penuh kesungguhan, sabar, doa, dan tawakal. Maka, seorang murabbi pun perlu mendoakan mutarabbinya setiap ia shalat malam agar dijaga oleh Allah dan ditingkatkan iltizamnya serta menjadi kader dakwah yang mencapai muwashshofatnya.

Delapan adalah Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang murabbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras, bebal dan sebagainya. Disinilah tugas kita sebagai seorang murabbi tidak hanya membimbing tetapi juga mengawal dan memahami. Semoga kita mampu menjadi seorang murabbi yang senantiasa memperbaiki diri menjadi seorang murabbi ideal. Amin