Jumat, 05 April 2013

PERANGKAT DASAR TARBIYAH

PERANGKAT DASAR TARBIYAH
Apa yang Pertama kali harus Tersedia?


Banyak hal yang ikut menunjang keberhasilan tarbiyah. Keseluruhannya perlu dikenali agar menjadi perhatian bagi setiap murabbi. Secara umum alat bantu dalam proses tarbiyah adalah manajemen. Dengan beberapa jenis manajemen diharapkan tarbiyah akan berjalan efektif menuju kepada tujuan, dan terjauhkan dari penyimpangan.
Kegiatan tarbiyah pada dasarnya memerlukan manajemen, sebagai alat bantu mencapai tujuan yang diharapkan. Paling tidak ada empat manajemen yang bisa menunjang keberhasilan tarbiyah, yaitu : manajemen personal, manajemen kelompok, manajemen murabbi, dan manajemen interaksi. Berikut akan dibahas satu per satu secara lebih rinci.

A.      Manajemen Personal
Manajemen personal adalah proses pengelolaan personal sejak merekrut dan memulai proses tarbiyah. Tujuan manajemen pada tingkatan ini ada dua :
a.       Memastikan kesiapan mutarabbi untuk mengikuti proses tarbiyah, yang ditandai dengan pemenuhan syarat-syarat peserta pada diri mutarabbi sesuai tahapannya
b.      Memahami berbagai kondisi di sekitar mutarabbi guna membentuk hubungan yang baik antara murabbi dan mutarabbi setelah berada dalam proses tarbiyah

Prinsip Manajemen Personal
1.       Pengenalan kondisi umum mutarabbi
Mutarabbi harus dikenali kondisinya untuk memastikan adanya syarat-syarat peserta dalam dirinya. Jika akan masuk pada tahap pertama, maka dalam diri mutarabbi tersebut sudah dipenuhi syarat-syarat peserta tahap pertama. Jika akan masuk pada tahap kedua, harus dipastikan bahwa ia telah memiliki syarat-syarat sebagai peserta tahap kedua.
Selain untuk mengetahui adanya syarat-syarat tersebut, pengenalan kondisi mutarabbi ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk mengenali lebih dalam berbagai hal dalam dirinya, sehingga akan memudahkan dalam pengelolaan. Hal-hal yang secara umum perlu diketahui dari mutarabbi antara lain :
a.       Tingkat pemahaman dan pengamalan keagamaan
b.      Kondisi sosial ekonomi
a.       Usia
b.      Latar belakang keluarga
c.       Tingkat intelektualitas
d.      Tingkat pendidikan
e.      Kecenderungan ruhiyah
f.        Kepekaan emosional
g.       Kecenderungan aktivitas
h.      Kafa’ah yang dimiliki mutarabbi

Dengan mengetahui berbagai macam kondisi yang ada pada diri mutarabbi tersebut sejak awal, maka seorang murabbi akan bisa menyimpulkan apakah seseorang tepat mengikuti kegiatan tarbiyah tahap pertama ataukah tahap kedua. Selain itu, akan lebih memudahkan pengelolaan tarbiyah di waktu-waktu selanjutnya. Di sisi lain, pengenalan ini bagian penting untuk menentukan apakah tarbiyah bagi personal tersebut menggunakan metode halaqah tarbawiyah atau tarbiyah fardiyah.

2.       Pengenalan latar belakang aktivitas mutarabbi
Untuk mutarabbi yang akan masuk ke tahap pertama, di antara hal yang perlu dikenali misalnya :
a.       Apakah ia pernah terlibat dalam komunitas ideologis non-Islam?
b.      Jika pernah terlibat, sejauh mana intensitas dan keterikatannya?
c.       Apakah ia pernah memberikan loyalitas kepada sebuah gerakan tertentu?
d.      Apa latar belakang organisasi keagamaannya selama ini?
e.      Apa afiliasi partai politiknya?
f.        Apa latar belakang organisasi kemasyarakatannya?
g.       Apakah ia memiliki “cacat” yang akan berpengaruh bagi organisasi, baik secara politik maupun amni (keamanan)?

Untuk mutarabbi yang akan masuk tahap kedua, perlu dimengerti misalnya :
a.       Siapa murabbi pada tahpa sebelumnya?
b.      Sejauh mana keterlibatan mutarabbi dalam kegiatan dakwah selama ini?
c.       Materi-materi apa saja yang pernah diterima?
d.      Kegiatan-kegiatan apa saja yang pernah diikuti?
e.      Kecenderungan apa yang spesifik pada mutarabbi?

Di antara cara yang bisa digunakan untuk mengetahui latar belakang ini adalah dengan perbincangan ringan, investigasi langsung kepada mutarabbi, atau informasi dari murabbi sebelumnya, dan orang-orang yang mengenalnya.
Pengenalan yang detail tentang kondisi khusus personal semakin memantapkan keputusan apakah ia dianggap layak dimasukkan ke dalam forum tarbiyah tahap pertama atau ke tahap kedua. Sekaligus juga memantapkan pilihan, apakah model halaqah tarbawiyah tepat bagi personal tersebut atau model tarbiyah fardiyah.

3.       Memilih anasir pengubah
Setelah mendapatkan berbagai macam gambaran kondisi umum maupun khusus personal yang akan direkrut ke dalam suatu kelompok tarbiyah, maka tinggal menetukan pilihan siapa di antara mereka yang dianggap layak dan siap mengikuti kegiatan tarbiyah tahap pertama dan tahap kedua.
Yang terpilih dari sekian banyak personal untuk mengikuti program tarbiyah adalah yang memiliki kriteria sebagai anasir (unsur) pengubah. Artinya, kita melakukan tarbiyah bukanlah mencetak orang-orang yang puas dengan mendapatkan materi-materi tarbiyah karena dianggap telah memenuhi kebutuhan rohani mereka. Tarbiyah adalah kegiatan mencetak anasir pengubah, agar mereka menjadi dai yang siap mengemban amanah perubahan di tengah-tengah masyarakat.

B.      Manajemen Kelompok
Setelah dikenali hal yang umum maupun khusus dari mutarabbi, kemudian mulai dilakukan pemilihan model pembinaan yang tepat. Sebagian bisa dibina dengan model halaqah tarbawiyah, namun sebagian yang lain, karena posisi atau kondisinya, lebih tepat menggunakan model tarbiyah fardiyah.
Bagi personal yang akan dibina dalam bentuk halaqah tarbawiyah, langkah berikutnya adalah dipilihkan kelompok yang tepat. Rosululloh saw mengajarkan agar menempatkan manusia sesuai posisinya (anzilunnas manazilahum). Manajemen kelompok ini memiliki tiga tujuan pokok :
a.       Menentukan bentuk pembinaan yang paling tepat bagi setiap personal yang telah terpilih, apakah dengan halaqah tarbawiyah atau tarbiyah fardiyah
b.      Membentuk kelompok tarbiyah sesuai tahapannya, dengan memilihkan anggota yang memungkinkan secara teoritis untuk menjadi sebuah kelompok halaqah tarbawiyah yang solid, dinamis dan produktif
c.       Menghindari munculnya kendala dalam proses tarbiyah yang disebabkan oleh kesalahan dalam penentuan metode pembinaan dan pembentukkan kelompok

Penentuan Model Tarbiyah
a.    Tarbiyah Fardiyah : Merekrut Kader “Khas”
Ada kalanya, personal-personal tertentu setelah disyurokan dalam organisasi dakwah dinyatakan lebih tepat dikelola secara fardiyah, bukan dalam kelompok halaqah tarbawiyah. Untuk tipe personal yang seperti ini, perlu diagendakan dalam administrasi tersendiri sehingga memudahkan dalam upaya pengelolaan nantinya.
Di antara alasan memilih model tarbiyah fardiyah bagi seorang personal adalah karena posisinya yang amat terkenal di masyarakat (sebagai figur yang diterima oleh semua kalangan), apabila diketahui keterlibatannya dalam sebuah proses tarbiyah, akan menyulitkan dirinya. Atau bisa jadi dia adalah seorang pejabat teras yang memerlukan kerahasiaan dan keamanan tinggi, yang apabila diketahui keterlibatannya dalam sebuah aktivitas khusus dikhawatirkan akan memunculkan masalah bagi dirinya. Tarbiyah fardiyah mampu menghijab peserta tarbiyah sehingga tidak menimbulkan kerawanan amniyah (keamanan) mutarabbi tersebut.
Program tarbiyah fardiyah dilaksanakan dengan metode individual, seorang mutarabbi dibimbing oleh murabbi dengan intensif melalui berbagai macam metode dan sarana sehingga mencapai tujuan dan muwashafat tarbiyah sesuai tahapannya. Jika dalam halaqah tarbawiyah para mutarabbi berada dalam sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa personal, maka pada metode tarbiyah fardiyah satu kelompok terdiri hanya satu orang mutarabbi saja.

b.      Halaqah Tarbawiyah : Membentuk Tarbiyah Berkelanjutan
Pemilihan kelompok ini amat menentukan perjalanan tarbiyah berikutnya. Oleh karena itu, dalam membentuk sebuah kelompok tarbiyah hendaknya diperhatikan beberapa kedekatan berikut:
1.    Kedekatan mustawa (tingkatan) ruhi, fikri, dan amali
Kendati sama-sama peserta tarbiyah tahap pertama, akan tetapi masing-masing mutarabbi memilih kapasitas yang berbeda-beda dari segi ruhaniyah, fikriyah dan amaliyah. Pengenalan kondisi mutarabbi amat penting untuk mengetahui kapasitas mereka, sehingga bisa dipilihkan kelompok yang tak terlalu jauh berbeda kapasitas antara satu dan yang lainnya.
Hal ini penting untuk memudahkan pengelolaan materi dan kegiatan tarbiyah. Kapasitas ruhiyah yang terlalu jauh rentangnya antara satu person dan person lainnya akan membuat suasana ketidakkompakan, yang bisa berakibat terhambatnya perkembangan seseorang. Demikian juga jarak kapasitas fikriyah yang terlalu jauh akan menyulitkan pemberian materi. Kapasitas amaliyah yang berbeda nyata antara satu person dan person lainnya akan membuat person yang tidak aktif cenderung menjadi penonton dan apatis terhadap forum.

2.    Kedekatan kondisi sosial dan ekonomi
Sekalipun tidak vital, tetapi akan punya peluang menjadi sebuah kendala apabila rentang kemampuan sosial dan ekonomi dalam satu kelompok tarbiyah berbeda secara nyata. Oleh karena itu dalam pemiliha kelompok, factor ini penting untuk menjadi perhatian, agar sebagaian tidak merasa “lebih rendah” yang berakibat minder dengan yang lainnya.
Kelompok pekerja kasar dan buruh sebaiknya dijadikan satu, terpisah dari kelompok dosen dan para doctor. Kelompok petani lebih senang bergaul dengan sesama mereka, demikian pula pebisnis. Factor ini penting dalam upaya kekompakan kelompok.

3.    Kedekatan usia
Sebaiknya, mutarabbi yang masih sekolah di SLTP/sederajat dikelompokkan dengan sesama mereka atau dengan yang seusia. Demikian pula mutarabbi yang sekolah di SMU/sederajat bisa dicarikan kelompok yang sepadan usianya. Para mahasiswa semester awal akan lebih pas berada pada kelompok yang rentang semesternya tak terlalu jauh antara satu dan yang lainnya.

4.    Kedekatan lokasi
Sekalipun sekadar masalah teknis, tetapi jika factor lokasi tidak disertakan sebagai bahan pertimbangan akan bisa mengganggu kelancaran program tarbiyah. Peserta dalam satu kelompok hendaknya berada dalam lokasi yang layak jangkau satu dan yang lainnya. Tentu saja perlu diperhatikan pula factor alat dan kemudahan transportasi. Semua itu demi kelancaran perjalanan kelompok tersebut.
Jarak yang terlalu jauh bisa membuat peluang mmutarabbi datang terlambat, kelelahan dalam perjalanan, kesulitan transportasi, dsb. Hal ini harus diantisipasi sejak awal dengan memilihkan kelompok yang dekat.
Selain pertimbangan teknis tersebut, ada pertimbangan strategis berkaitan dengan kedekatan lokasi, yaitu proyek penggarapan lahan dakwah kewilayahan. Artinya, apabila mutarabbi berasal dari satu desa atau kecamatan yang sama, maka laboratorium dakwah bagi mereka juga di desa atau kecamatan tersebut. Hal ini sekaligus merupakan proyeksi perluasan aspek kewilayahan, upaya untuk penajaman dan pengkonsentrasian dakwah di wilayah tersebut.

5.    Kedekatan waktu keterlibatan
Sebaiknya mutarabbi yang baru saja bergabung dikelompokkan sesama mereka, atau jika pun bersama dengan kelompok yang telah berjalan, hendaknya tidak telalu jauh perbedaan waktu keterlibatannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga suasana kelompok agar tetap kompak, tidak ada yang tertinggal jauh dalam materi dan kegiatan, serta sebagai bentuk penghormatan terhadap seluruh personal yang ada. Jika ada penambahan personal di tengah perjalanan (karena mutasi, misalnya) hendaknya factor waktu keterlibatan ini menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan kelompok.


C.      Manajemen Murabbi
Sifat-sifat dan Akhlak Murabbi
Sifat-sifat yang harus ditampilkan oleh setiap murabbi, secara garis besar bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu sifat fitriyah dan sifat muktasabah (bentukan). Yang termasuk dalam kategori sifat fitriyah adalah :
1.         Potensi ma’nawiyah, yaitu potensi jiwa yang digerakkan oleh iman, diformat oleh Islam dan dibimbing oleh ihsan
2.         Potensi ilmiyah, yaitu kecerdasan intelektual yang membuatnya senantiasa bersikap obyektif, memutuskan persoalan secara cepat, tepat, kritis dan kreatif
3.         Potensi jasadiyah, yang memungkinkan seseorang melaksanakan beban-beban tarbiyah dengan benaar, energik, terencana dan berkelanjutan hingga tuntas

Sedangkan sifat muktasabah adalah kemampuan pribadi yang bisa dipelajari dan ditumbuhkembangkan terbagi menjadi dua bagian :
1.         Potensi teoritis dan tsaqofah, meliputi wawasana keislaman secara umum, wawasana keislaman secara khusus, dan wawasana kehidupan secara umum yang membuatnya mempu membimbing mutarabbi menuju jalan yang lurus
2.         Potensi praktis dan amaliyah, meliputi aspek dakwah, aspek harakah dan tanzhim, serta aspek leadership, yang menyebabkannya memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan tarbiyah secara terampil sehingga bisa menjadi murabbi yang produktif dalam pembinaan.

Adapun akhlak sebagai murabbi dari setiap tahap tarbiyah ini tentu saja akhlak Islam keseluruhannya. Hanya saja, ada beberapa perhatian penting bagi setiap murabbi untuk menetapi beberapa karakter berikut :
1.           Berusaha menampilkan keteladanan yang maksimal di depan mutarabbi dan masyarakat secara umum dalam berbgai bidang kehidupan
2.           Senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh melalui aktivitas ibadah lillaahi wahdah
3.           Menjaga kerapian, keindahan, dan kebersihan dalam berpakaian atau berpenampilan secara umum
4.           Senantiasa berusaha untuk meningkatkan kapasitas keilmuan
5.           Melaksanakan pertam kali syiar-syiar ubudiyah yang dibebankan kepada mutarabbi
6.           Menebarkan kasih sayang dan lemah lembut kepada mutarabbi
7.           Menampilkan sikap kedewasaan dalam bermuamalah dengan mutarabbi
8.           Menampilkan kepribadian yang kuat, bersemangat tinggi, dan berdedikasi penuh keikhlasan
9.           Mendoakan mutarabbi di luar pengetahuan mereka, untuk kebaikan mereka dan keluarga mereka di dunia dan di akhirat
10.     Senantiasa siap memperbaiki kekurangan diri dalam berbagai hal.

Kemampuan Khas Murabbi
Selain sifat dan akhlak, murabbi masih dituntut memiliki sejumlah kemampuan khas berikut :
1.            Kemampuan berbahasa Arab
     Tentu menjadi ideal apabila murabbi mampu berbahasa Arab, karena sumber agama Islam berbahasa Arab. Selain itu, berbagai rujukan standar keislaman juga berbahasa Arab. Apabila murabbi memiliki kemampuan berbahasa Arab, diharapkan akan menjadi akselerator bagi mutarabbi dalam memahami Islam.

2.            Kemampuan berbahasa Indonesia
        Bahasa komunikasi dalam kegiatan tarbiyah adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi murabbi untuk memahami kaidah berbahasa. Dengan kemampuan berbahasa ini, akan memudahkan murabbi menyampaikan pesan materi. Semakin banyak kosa kata serta gaya bahasa yang dikuasai murabbi, semakin lancar dan menarik pembicaraannya.

3.            Kemampuan menulis dengan huruf Arab
       Selain karena di antara materi-materi tarbiyah menggunakan bahasa Arab, lewat tulisan Arab tersebut tarbiyah juga bermaksud menumbuhkan kedekatan perasaan mutarabbi terhadap khazanah keilmuan dan kebudayaan Islam. Dengan ditulis secara benar, bagus, indah dan mudah dibaca, memudahkan mutarabbi menyalin dan memahami tulisan. sebaliknya, jika tulisan murabbi salah, hal itu dapat tertularkan pada para mutarabbi secara turun-temurun.

4.            Kemampuan menulis dengan huruf latin
         Di antara materi tarbiyah ada yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, sehingga murabbi perlu menuliskannya di papan tulis atau whiteboard. Tulisan yang bagus dan mudah dibaca akan membantu mutarabbi memahami isi dan pesan materi. Murabbi yang tulisannya jelek, harus berlatih agar memiliki tulisan yang bagus dan indah dilihat.

5.            Kemampuan berbicara
         Hendaknya murabbi mampu berbicara dengan teratur, logis (sistematik), dan mudah dipahami. Kelemahan murabbi dalam hal berbicara antara lain : terlalu cepat dalam berbicara, tidak jelas vocal atau ucapan, kurang kerasnya volume suara, atau terlalu banyak jeda. Murabbi dituntut mampu berbicara tidak terlalu cepat namun juga tidak terlalu lambat, vocal yang kelas, volume tak terlalu keras dan tidak terlalu lemah, serta memiliki intonasi yang tepat.

6.            Kemampuan beretorika
      Retorika dalam berbicara didukung oleh beberapa hal, diantaranya adalah vocal yang jelas, intonasi yang tepat, nada suara yang enak, volume suara yang pas, bahasa yang menarik, kosa kata yang tepat, ilustrasi yang mengena, mimik wajah yang sesuai, dan gerakan anggota tubuh yang serasi.

7.            Kemampuan mendengarkan pembicaraan
     Murabbi harus siap mendengarkan masukan, pertanyaan, atau bahkan kritikan mutarabbi. Murabbi bukanlah seorang pembicara yang hanya berbicara. Ia adalah seorang Pembina, yang berbicara pada suatu kesempatan, dan pada kesempatan yang lain ia mendengarkan pembicaraan mutarabbi. Murabbi harus bisa menjadi pendengar yang baik terhadap permasalahan mutarabbinya.

8.            Kemampuan menyegarkan suasana
       Kadang-kadang suasana di forum tarbiyah demikian tegang mencekam, padahal pada saat itu tengah membicarakan hal-hal yang ringan-ringan saja. Suasana yang monoton seperti ini kurang kondusif bagi mutarabbi. Oleh karena itulah diperlukan inisiatif murabbi untuk menyegarkan suasana (tatkala forum mulai terasa penat dan jenuh) berupa, antara lain, selingan-selingan ringan dan humor-humor/anekdot cerdas. Apalagi jika suasana ruangan tidak mendukung, dengan model forum yang tegang, akan mempercepat terjadinya kelelahan dan kejenuhan mutarabbi.

9.            Kemampuan berkomunikasi
       Di antara hal yang amat vital dalam proses tarbiyah adalah adanya kelancaran berkomunikasi antara murabbi dan mutarabbi, atau sebaliknya. Murabbi harus berkomunikasi secara efektif, yakni sebuah komunikasi di mana penerima menginterpretasikan pesan yang diterima sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim, tidak ada bias dan kerancuan. Hangatnya komunikasi, lancarnya saluran pembicaraan antara kedua belah pihak, sangat besar nilainya bagi proses tarbiyah. Murabbi harus mengawali komunikasi dengan mutarabbinya.

10.        Kemampuan bercerita
        Di antara metode tarbiyah Rosululloh saw terhadap para sahabat adalah dengan kisah, bahkan tarbiyah dari Alloh melalui Al Quran juga banyak dengan kisah. Menceritakan kisah kepahlawanan Islam merupakan bagian utuh dari tarbiyah. Kemampuan murabbi bercerita secara baik menjadi daya tarik bagi mutarabbi dalam mengikuti forum tarbiyah.

11.        Kemampuan memimpin forum
        Kadang-kadang dalam forum syuro atau diskusi terjadi kemacetan pembicaraan, atau didominasi oleh satu orang saja. Murabbi harus mampu memimpin forum sehingga forum menjadi hidup dan terarah. Murabbi perlu memiliki kecakapan untuk mengarahkan forum sehingga seluruh mutarabbi memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengeksplorasi gagasan serta ide-idenya.

12.        Kemampuan merespon dan menyelesaikan masalah
            Tatkala pada diri mutarabbi mulai muncul keterbukaan (misalnya ia mulai bercerita tentang   permasalahan pribadi kepada murabbi), murabbi harus meresponnya (misalnya dengan cara berempatik sekaligus membantu mencari alternative pemecahannya). Murabbi tak boleh mengelak dari berbagai permasalahan hidup para mutarabbi.

Peningkatan Potensi Murabbi
Keberhasilan tarbiyah amat bergantung pada kapasitas murabbi. Apabila murabbi bersikap statis tidak berupaya menambah kemampuan dan potensi diri, lantas dengan cara apa mereka bisa meningkatkan kapasitas mutarabbi? Oleh karena itu, menjadi hal yang logis apabila murabbi harus senantiasa meningkatkan potensi diri. Di antara potensi yang harus senantiasa dijaga dan bahkan ditingkatkan adalah :
1.         Potensi kerohanian (ruhaniyah), yang dengan itu para murabbi akan menebarkan kesejukan iman, kehangatan ukhuwah, kecerahan wajah dan penampilan
2.         Potensi keilmuan, dengan memperbanyak belajar berbagai keilmuan yang bermanfaat, baik ilmu keislaman, ilmu sosial, maupun alam
3.         Potensi keilmuan khusus, seperti bagaimana menulis dengan bagus dan rapi, baik dengan huruf Arab maupun latin; bagaimana berbicara dengan lancar dan tertib (sistematik); bagaimana menyampaikan materi dengan logis dan menarik
4.         Potensi wawasan kontemporer, baik dalam wacana perpolitikan, perekonomian, sastra dan budaya, olahraga, teknologi, maupun bidang-bidang lain, dengan mengikuti berbagai berita actual dari peristiwa local hingga internasional
5.         Potensi seni dan keindahan, dengan menguatkan kecenderungan terhadap nila-nilai estetika, menjaga dan memperbaiki penampilan diri agar senantiasa indah serta menyenangkan
6.         Potensi manajerial, dengan mempelajari teori-teori manajemen, hingga mampu mengaplikasikannya dalam proses tarbiyah
7.         Potensi kepemimpinan, dengan memperbaiki gaya memimpin, mempelajari seni kepemimpinan, serta berusaha mengaplikasikannya dalam berhubungan dengan mutarabbi
8.         Potensi tanggung jawab, dengan semakin mendalamnya perasaan “memiliki”, sehingga muncullah sikap rahmah: keinginan untuk menjaga, melindungi, membersamai, di samping sikap melatih, mendorong, dan menghukum
9.         Potensi kekuatan fisik, sehingga tidak sakit-sakitan, tidak lemah semangat, tidak mudah lelah.

C.      Manajemen Interaksi
Setelah mutarabbi berada dalam sebuah kelompok tarbiyah dengan murabbi yang telah difinitif, perhatian berikutnya adalah bagaimana terbangun suatu interaksi positif dalam kelompok tersebut sehingga mereka bisa saling memberikan kemanfaatan secara optimal satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya tarbiyah adalah peristiwa : interaksi murabbi dan mutarabbi; interaksi mutarabbi, materi dan kegiatan; interaksi antarmutarabbi; interaksi mutarabbi, lingkungan dan sarana-sarana.
Oleh karena itu, amat penting untuk diperhatikan bagaimana membangun sebuah pola interaksi positif dalam kelompok tarbiyah. Di antara prinsip manajemen interaksi adalah :
1.         Membangun kepercayaan awal
Pertemuan pertama dalam sebuah kelompok antarra murabbi dan para mutarabbi merupakan titik awal yang banyak menentukan keberhasilan program tarbiyah. Jika pada pertemuan awal itu antarmutarabbi belum saling mengenal, maka diperlukan waktu untuk saling membuka diri, berkenalan dan memahami. Demikian juga jika antara murabbi dan mutarabbi belum saling mengenal, forum awal adalah ta’aruf dan saling membuka diri.
Pada saat pertemua pertama tersebut murabbi harus tampil percaya diri. Niatkan diri dengan ikhlas karena Alloh untuk memulai tarbiyah, membimbing umat meraih kejayaan Islam. Perhatikan penampilan diri agar tampak indah dan rapi. Persiapkan bahan pembicaraan awal untuk membuka dan mengawali forum tarbiyah. Persiapkan diri pula secara teknis untuk menghindari kesalahan atau semacam “cacat” dalam permulaan.

2.            Membangun kedekatan murabbi dan mutarabbi
Setelah memiliki pengenalan yang cukup terhadap mutarabbi, murabbi berkewajiban menjalin hubungan yang baik dan dekat dengan para mutarabbi. Hubungan yang harmonis semacam ini akan menjadi factor pendukung yang amat signifikan bagi keberhasilan program tarbiyah. Harapan dari kedekatan hubungan murabbi dan mutarabbi adalah adanya musharahah (keterbukaan), musyawarah dan musyarakah (keterlibatan) mutarabbi.
Keterbukaan tidak mungkin diharapkan dari mutarabbi, apabila ia merasa ada sekat dalam berhubungan dengan murabbi. Demikian pula syura akan sulit muncul dari mutarabbi jika tidak ada kedekatan hubungan dengan murabbinya. Kalaupun mmuncul keterbukaan dan syura, bisa jadi hanya mujamalah (basa-basi) dan tak bermuara dari kedalaman hati.
Untuk membina kedekatan hubungan ini, para murabbi hendaknya memperhatikan beberapa perangkat berikut :
a.         Ikhlas karena Alloh, dalam berhubungan dengan mutarabbi
b.        Bersahabat, dalam berhubungan dengan mutarabbi
c.         Lembut,hidupkan suasana dialogis dalam forum
d.        Munculkan suasana ukhuwah dalam kelompok (dengan melaksanakan syiar serta hak-hak ukhuwah)
e.        Perhatikan mutarabbi, termasuk pada hal-hal yang tampak sepele (seperti menghafal nama, memanggil dengan namanya secara benar, menanyakan kondisi anak dan atau keluarganya)

3.            Membangun komunikasi efektif
Di antara cirri-ciri komunikasi efektif adalah :
a.       Komunikasi harus mudah dimengerti
b.      Komunikasi harus lengkap sehingga tidak menimbulkan keraguan
c.       Komunikasi harus tepat waktu dan tepat sasaran
d.      Komunikasi dengan landasan saling kepercayaan
e.      Komunikasi perlu memperhatikan situasi dan kondisi

Komunikasi antara murabbi dan mutarabbi bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, artinya tidak terbatas hanya di forum pertemuan rutin tarbiyah saja. Murabbi bisa menyempatkan waktu untuk mengunjungi rumah mutarabbi, dan sebaliknya mutarabbi mengunjungi rumah murabbi. Mereka senantiasa menjaga komunikasi timbale balik untuk memperdekat jarak psikologis keduanya.
Di antara hambatan bagi terbangunnya komunikasi yang baik antara murabbi dan mutarabbi adalah :
a.         Kesan “keangkuhan” murabbi, atau “kesakralan” murabbi di hadapan mutarabbi
b.        Perasaan hati yang tidak enak terhadap murabbi (pada mutarabbi), dan sebaliknya
c.         Jauhnya jarak tempat tinggal antara murabbi dan mutarabbi
d.        Persepsi mutarabbi terhadap murabbi, dan sebaliknya
e.        Kesibukan masing-masing pihak sehingga tidak menyempatkan waktu untuk membangun komunikasi yang sehat
f.          Sifat-sifat ketertutupan kedua belah pihak.

Manajemen Kegiatan pada Halaqah Tarbawiyah
Kegiatan sama halnya dengan materi, adalah sebuah saran mencapai tujuan. Kegiatan dalam program tarbiyah harus dikelola secara sungguh-sungguh dan professional sehingga bisa mengantarkan mutarabbi ke gerbang kepahaman yang utuh dan menyeluruh sesuai target yang diinginkan. Antara materi dan kegiatan dalam program tarbiyah bukan sesuatu terpisah satu dan yang lainnya, bahkan keduanya merupakan satu rajutan. Kegiatan yang dipilih harus disesuaikan dengan tahap pembinaan yang tengah berlangsung.
Kegiatan dalam program tarbiyah bisa bersifat tarqiyah (peningkatan kapasitas) bisa pula bersifat tadribiyah (peningkatan kerja). Untuk kegiatan tarqiyah bisa berupa kegiatan individual, bisa pula kegiatan bersama.

Kegiatan Tarqiyah Individual
Kegiatan individual ini dikerjakan oleh setiap individu dalam kelompok tarbiyah. Bentuk dan frekuensi kegiatan disesuaikan dengan tahap pembinaannya dan sebaiknya ada kesepakatan bersama terlebih dahulu dalam kelompok tersebut. Murabbi berkewajiban mengarahkan bentuk kegiatan yang akan disepakati mutarabbi dalam kelompok, untuk kemudian memantau pelaksanaan dan mengevaluasi hasilnya. Di antara kegiatan individual untuk mutarabbi adalah sebagai berikut : Tilawah Al Quran, Hafalan Al Quran, Hafalan Hadits, Shalatberjamaah, Hafalan doa, Shalat malam, Puasa sunnah, Olahraga, Infaq, dan Shalat sunnah rawatib



Keteladanan Murobbi


Pernahkah Anda mengalami suatu saat ketika Anda membuka mushaf dan Anda mulai membaca Al-Qur’an kemudian anak-anak Anda datang mendekati Anda sambil membawa buku Iqra’nya lalu mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang tengah anda lakukan? Pernahkah Anda mendapatkan mutarabbi (objek dakwah/peserta didik/murid) Anda mengerjakan shaum (puasa) sunnah padahal Anda secara eksplisit tidah pernah menyuruhnya? 

Hal tersebut dilakukan oleh mutarabbi Anda hanya karena ia mendapatkan Anda juga melakukan shaum sunnah pada hari-hari sebelumnya. Pernahkah Anda mengalami khadimat Anda perlahan-lahan menyesuaikan diri dan penampilannya di tengah-tengah keluarga Anda, mulai terbiasa mengenakan gaun panjang, memakai kerudung walau pada awalnya cuma nempel di atas kepala, tapi toh lama kelamaan ia menjadi terbiasa berjilbab baik ketika ia bekerja di dalam rumah apalagi di luar rumah? Padahal isteri Anda belum pernah berkata kepadanya bahwa memakai jilbab itu wajib, apalagi memperdengarkannya ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban menutup aurat baik dalam surat An-Nur maupun Al-Ahzab.

Itulah buah dari keteladanan. Ketealadanan adalah cara berdakwah yang paling hemat karena tidak menguras enerji dengan mengobral kata-kata. Bahkan bahasa keteladanaan jauh lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan sebagaimaana pepatah mengatakan: “Lisaanul hal afshahu min lisaaanil maqaaal”, bahasa kerja lebih fasih dari bahasa kata-kata. Dalam ungkapan lain keteladanan ibarat tonggak, dimana bayangan akan mengikuti secara alamiah sesuai dengan keaadaan tonggak tersebut, lurusnya, bengkoknya, miringnya, tegaknya. Benarlah pepatah ini: “Kaifa yastaqqimudzdzhillu wal ‘uudu a’waj”, bagaimana bayangan akan lurus bila tonggaknya bengkok.


Oleh karena itu, penting bagi para murabbi (dai/pendidik/guru/orang tua) untuk berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murabbi teladan agar keteladanaannya memberi keberkahan bagi perkembangan dakwah dan peningkatan kualitas maupun kuantitas para mutarabbi yang mereka bina. Karena itu para murabbi pun perlu berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tercatat sejarah sebagai murabbi teladan, setidaknya melalui suratun hayawiyyah (gambaran kehidupan mereka), khusunya dalam melakukan aktivitas pentarbiyahan (mendidik mutarabbi).

Perhatikanlah kehidupan Murabbi hadzihil ummah, Rasulullah saw. Telusuri keteladanan figur murabbi pada diri sahaabatnya, para tabi’in, dan ulama salaafussalih. Aina nahnu minhum? Kita sungguh tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Bahkan rasanya mustahil bisa sama dengan mereka. Itulah satu perasaan yang akan terlintas di benak kita ketika mengetahui keteladaanaan mereka sebagai murabbi. Tetapi kita dinasihati oleh satu pepatah: tasyabbahu in lam takuunuu mislahum, Innattasyabbuha bil kiraami falaahun, teladanilah meski tidak sama persis dengan mereka, sesungguhnya meneladanani orang-orang mulia adalah satu keberuntungan.

Keteladanan Rasulullah SAW.
Sebagai murabbi Rasulullah saw. selalu melakukan pendekatan komunikasi sebagaimana yang direkomendasikan Al-Qur’anm yaitu qaulan layyinan (Thaha: 44), qaulan maysuran (Al-Isra’: 28), qaulan ma’rufan (As-Sajdah: 32), qaulan balighan (An-Nisa’: 63), qaulan sadidan (An-Nisa’: 9), dan qaulan kariman (Al-Ahzab: 31).

Sebagai murabbi, Rasulullah saw. tidak pernah memojokkan mutarabbi dengan kata-kata, apalagi hal itu dilakukan di hadapan orang lain. Diriwayatkan oleh Abi Humaid Abdirrahman bin Sa’ad As-Sa’idy r.a., ia berkata, “Nabi saw. telah mengutus seseorang yang bernama Ibnu Lutbiyyah sebagai amil zakat. Setelah selesai dari tugasnya lalu ia menghadap Raasulullah saw. seraya berkata, ‘Ini hasil dari tugas saya, saya serahkan kepadamu. Dan yang ini hadiah pemberian orang untuk saya.” Lalu Rasulullah saw. segera naik ke atas mimbar. Setelah menyampaikan puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau berkhutbah seraya berkata, “Sesungguhnya aku megutus seseorang di antara kalian sebagai amil zakat sebagaimaana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. kepadaku, lalu ia datang dan berkata: ‘Ini untuk engkau dan yang ini hadiah untukku. Jika orang itu benar, mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau Ibunya sehingga hadiah tersebut datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah mengambil seseorang sesuatu yang bukan haknya melainkan kelak dia bertemu dengan Allah swt. membawa barang yang bukan menjadi haknya.” Lalu Rasulullah saw. mengangkat kedua belah tangannya hingga tampak ketiaknya seraya berkata, “Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. Ya Allah, telah aku sampaikan. ” (Bukhari dan Muslim).

Rasulullah juga tidak pernah menjaga jarak dengan mutarabbinya. Sehingga tidak terjadi kesenjangan psikologis antara mutarabbi dengan murabbi. Hal ini dapat dilihat dari dialog lepas antara Jabir bin Abdillah dengan Rasulullah saw. “Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. pada peperangan Dzatirriqa’. Aku mengendarai seekor onta yang lamban jalannya sehingga aku tertinggal jauh dari Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. menemuiku seraya berkata, “Kenapa engkau, hai Jabir? ” “Ontaku, ya Rasulallah, jalannya lamban sekali,” balasku. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Berikan kepadaku tongkat yang ada di tanganmu atau berikan aku sepotong kayu.” Aku berikan kepadanya dan beliau pun memukulkan kayu tersebut secara perlahan ke onta saya. Lalu beliau menyuruhku menaiki onta itu. Demi Allah, tiba-tiba ontaku berjalan dengan sangat cepat.

Kemudian obrolan berlanjut. Rasulullah saw. bertanya kepadaku, “Hai Jabir, apakah engkau sudah kawin?” “Sudah, ya Rasulallah,” jawabku. “Dengan janda atau gadis?” tanya beliau lagi. “Dengan janda, ya Rasul,” tegasku. “Kenapa tidak dengan gadis saja sehingga engkau dapat bersenang-senang dengannya dan ia dapat bersenang-senang denganmu?” balas Rasulullah saw. dengan nada bertanya. Lalu aku menjelaskan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal pada Perang Uhud dan meninggalkanku saudara perempuan sebanyak tujuh orang. Maka dari itu aku menikahi seorang wanita yang sekaligus dapat menjadi pengasuh dan pembimbing mereka.” Kemudian Rasulullah berkata, “Engkau benar, insya Allah.”

Keteladanan Para Sahabat r.a.
Di antara para sahabat yang paling menonjol keteladanannya adalah Abu bakar As-Shiddiq r.a. Bukan hanya karena ia adalah satu-satunya sahabat yang mendapat gelar as-sihiddiq dan juga bukan hanya karena satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanaan hijrah ke Madinah. Tetapi lebih dari itu, karena Abu Bakar layak disebut sebagai murabbi hadzihil ummah sepeninggalnya Rasulullah saw. Beliaulah yang memandu akidah dan fikrah para sahabat yang lainnya ketika mereka masih belum legowo menerima berita wafatnya Rasulullah saw., bahkan termasuk Umar bin khattab r.a. Pada saat itulah Abu bakar memberikan taujih tarbawy dengan membacakan firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 144, seraya menambahkan penjalasan dengan kata-kata hikmahnya, “Man kaana ya’budu muhammadan fainna muhammad qod maata, wa man kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun laa yamuutu, barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah tiada; tetapi barangsiapa yang menyembah Allah swt., sesungguhnya Allah Hidup dan tidak akan mati.” Itulah keteladanan Abu Bakar dalan menyemai benih-benih tarbiyah, khusunya tarbiyah aqidiyah.

Ketika dua pertiga Jazirah Arab ditimpa gerakan pemurtadan (harakatul irtidad), dalam bentuk pembangkangan tidak mau membayar kewajiban zakat, lagi-lagi Abu bakar tampil sebagai pelopor. Dengan ketegasan sebagai murabbi, Abu Bakar menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan memerangi mereka. Banyak para sahabat, termasuk Umar bin Khattab, masih beranggapan bahwa bukan itu jalan keluar untuk menghentikan gelombang kemurtadan. Abu Bakar langsung memberikan pelajaran kepada para sahabat khususnya Umar dengan kalimat, “Hatta anta, ya Umar, ajabbaarun fil jahiliyah hhawwarun fil Islam? Wallaahi, laa yanqushuddinu wa anaa hayyun, lau mana’uuni ‘uqqaalu ba’iirin yuadduunahi ila Rasuulillah lahaarabtuhu hatta tansalifa saalifaty, sampai engaku juga, Ya Umar. Apakaah engkau hanya tampak perkasa pada masa jahiliyah kemudian jadi ragu pada masa Islam? Demi Allah, tidak akan berkurang agama ini (Islam) sedikitpun selama aku masih hidup, walaupun mereka tidak memberikan hanya seutas tali onta yang harus diberikan kepada Rasulullah, maka tetap akan ku perangi mereka sampaai urat leherku terputus.”

Bahkan keteladan Abu Bakar sebagai murabbi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga langsung dibarengi dengan sikap dan tindakan kongkret agar menjadi contoh bagi para sahabat yang lain. Misalnya pada saat sebagian besar para sahabat (kibaarus shahabah) keberataan dengan diangkatnya Usamah Bin Zaid, padahal hal itu telah menjadi ketetapan komando Rasulullah saw. sebelum wafatnya. Abu Bakar berazam untuk tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan Rasulullah saw. seraya mengiringi pelepasan ekspedisi Usamah dengan menuntun kudanya sampai perbatasan. Sejak awal Usamah merasa tidak enak karena Abu Bakar berjalan kaki sementara ia berada di atas kudanya. Lalu Usamah menawarkaan agar ia turun, Abu Bakar saja yang naik kuda. Abu Bakar berkata, “Wallahi maa rakibtu wa maa nazalta, wa maa lialaa ughabbira qadami fi sabilillaah, Demi Allah, aku tidak mau naik dan engkau juga tidaak perlu turun. Biarkanlah kakiku bersimbah debu di jalan Allah.”

Keteladanan Ulama Salafusshalih
Salah satu di antara mereka adalah Atho bin Abi Rabaah rahimahullah. Beliau memimpin halaaqah (kelompok pengajian) besar di Masjidil Haram semasa Sulaiman bin Abdil Malik menjadi Khalifah. Khalifah sering menghadiri halaqah Atho bin Abi Rabah. Padahal Atho adalah seorang habsyi (negro asal Ethiopia) yang pernah menjadi budak seorang wanita penduduk Kota Mekkah. Atho dimerdekakan karena kepandaiannya dalam mendalami ajaran Islam.

Keteladanan Atho bin Abi Rabaah sebagai murabbi adalah kelembutannya dan ketajaaman nasihatnya serta pandangan dan perhatianya yang penuh kasih sayang. Itu seperti yang dikisahkan Muhammad bin Suqah, salah seorang ulama Kufah, bahwa suatu ketika Atho bin Abi Rabaah menasihatinya, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita tidak menyukai pembicaraan yang berlebihan.” “Lalu apa batasannnya pembicaran yang berlebihan?” tanyaku. Beliau melanjutkan nasihatnya, “Mereka mengkategorikan pembicaraan berlebih bila dilakukan selain dari Al-Qur’an yang dibaca dan difahami; atau hadits Rasulullah yang diriwayatkan; atau berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar; atau pembicaraan tentang satu hajat, kepentingan dan persoalan maisyah.” Kemudian beliau mengarahkan pandangannya kepadaku seraya berkata, “Atunkruuna (Inna ‘alaikum laahaafidzhiin, kiraaman kaatibiin) (Al-infithar: 10-11), wa anna ma’a kullin (‘minkum malakaini Anil yamiini wa ‘anisshimaali Qa’iid, maa yalfidzhu min qaulin illaa laadaaihi raqiibun ‘atiid) (Qaf: 17-18), Amaa yatahyii aahaduna lau nusyirat alaihi shahiifatuhullatii amlaa’aahaa shdra naahaarihi, faawaajada aktsara maa fiihaa laaisa min amri diinihi walaa amri dunyaahu.”

Kapabilitas takwiniyah (kemampuan membentuk pribadi mutarabbi) Atha bin Abi Rabaah dalam mentarbiyah bukan hanya kepada kalangan pembesar dan terpelajar, tapi sampai seorang tukang cukur. Ini sebagaimana dikisahkan oleh Imam Abu hanifah. “Aku melakukan kesalahan dalam lima hal tentang manasik haji, lalu aku diajarkan oleh seorang tukang cukur, yaitu ketika aku ingin selesai dari ihram. Aku mendatangi salah seorang tukang cukur, lalu aku berkata kepadaanya, berapa harganya? “Semoga Allah menunjukimu. Ibadah tidak mensyaratkan soal harga. Duduk sajalah dulu. Soal harga gampang,” jawab tukang cukur. Waktu itu aku duduk tidak menghadap kiblat, lantas ia mengarahkan dudukku hingga menghadap kiblat. Kemudian menunjukkan bagian kiri kepalaku, lalu ia memutarnya sehingga mulai mencukur kepalaku dari sebelah kanan.

Ketika aku dicukur, ia melihatku diam saja. Lalu ia menegurku, “Kenapa koq diam saja? Ayo perbanyaklah takbir.” Maka aku pun bertakbir. Setelah selesai, aku hendak langsung pergi. Lalu ia berkata, “Mau kemana kamu?” “Aku mau ke kendaraanku,” jawabku. Tukang cukur itu mencegahku seraya berkata, “Shalat dulu dua rakaat, baru kau boleh pergi kemana kau suka.” Aku berkata dalam hati, tidak mungkin tukang cukur bisa seperti ini kalau bukan dia orang alim. Lalu aku berkata kepadanya, “Dari mana engkau dapati mengenai beberapa manasik yang kau perintahkan kepadaku?” “Demi Allah, aku melihat Atho bin Abi Rabaah mempratekkan hal itu, lalu aku mengikutinya, dan aku arahkan orang banyak untuk belajar kepadanya,” jawab tukang cukur alim tersebut.

Di antara kebiasaan baik ulama salafusshalih dan keteladanan mereka dalam mentarbiyah adalah ketika memberikan materi mereka tidak terkesan bersikap santai atau memberikannya sambil duduk bersandar. Tetapi mereka menunjukan sikap yang sigap dan penuh semangat sebagaimana telah menjadi sikap umum di kalangan mereka ketika menyampaikan materi. Hal itu terungkap dari pernyataan salah seorang di antara mereka, “Laa yanbaghi lanaa idzaa dzukira fiinasshalihuna jalasnaa wa nahnu mustaniduuna, tidaklah pantas bagi kita ketika disebutkan di tengah-tengah kita orang-orang yang shaleh, lalu kita duduk sambil bersandar.”

Adalah Said Ibnul Musayyib rahimahullah (juga seoarang murabbi yang keteladanannya patut dicontoh oleh para murabbi). Ia memimpin halaqah yang cukup besar di Masjid Nabawi. Si samping beliau, juga terdapat halaqah ‘Urwah bin Zubair dan Abdullah bin ‘Utbah rahimahumallah. Said Ibnul Musayyib mempunyai seorang mutarabbi, namanya Abu Wada’ah. Suatu ketika Abu Wada’ah beberapa kali tidak hadir. Tentu saja Said bin Musayyib merasa kehilangan mutarabbinya itu. Beliau khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya lantaran sakit atau ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau bertanya kepada murid-muridnya yang lainnya. Namun tidak ada yang tahu. Beberapa hari kemudian tiba-tiba Abu Wada’ah datang kembali sebagaimana biasa. Maka sang murabbi teladan Said bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian. “Kemana saja engkau, ya Aba Wada’ah?” “Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk mengurusinya,” jawab Abu wada’ah. “Mengapa tidak beritahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah isterimu serta membantu segala keperluanmu?” tanya Said kembali. “Jazaakallahu khairan,” jawab Abu Wada’ah yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khwatir merepotkan murabbinya.

Tidak lama kemudian Said bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikinya, “Apakah engkau belum terpikir untuk mencari isteri yang baru, ya Aba Wada’ah?” “Yarhamukallah, siapa orangnya yang mau mengawini anak perempunnya dengan pemuda macamku yang sejak kecil yatim, fakir, dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya. “Aku yang akan mengawinimu dengan anak perempuanku,” tegas Said. Dengan terbata-bata Abu Wada’ah berucap, ” Eng… engkau akan mengawiniku dengan anak perempuanmu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku.” “Ya, kenapa tidak? Karena kami jika sudah kedataangan seseorang yang kami ridha terhadap agamanya dan akhlaknya, maka kami kawinkan orang itu. Dan engkau termasuk orang yang kami ridhai,” jawab Said meyakinkan mutarabbinya.

Lalu dipanggillah orang-orang yang ada di halaqah tersebut untuk menyaksikan akad nikah dengan mahar sebanyak dua dirham. Abu Wada’ah benar-benar terkejut tak tahu harus berkata apa. Antara kaget daan girang ia pulang menuju rumahnya. Sampai-sampai ia lupa kalau hari itu ia sedang shaum karena di tengah perjalanan ia terus berpikir dari mana ia akan menafkahkan isterinya, atau berhutang dengan siapa? Tak terasa ia sudah sampai di rumah dan adzan maghrib pun tiba. Lalu ia berbuka dengan sepotong roti. Baru saja menikmati rotinya, tiba-tiba ada suara yang mengetuk pintu. “Siapa yang mengetuk pintu,” tanyanya dari dalam rumah. “Said,” jawab suara di balik pintu yang sepertinya ia mengenalinya.
Setelah dibukanya tiba-tiba sang murabbi sudah ada di hadapannya. Abu Wada’ah mengira telah terjadi “sesuatu” dengan pernikahannya, lalu ia langsung menyapa sang murabbi seraya berkata, “Ya Aba Muhammad, mengapa tidak engkau utus seseorang memanggilku sehingga aku yang datang menemuimu.” “Tidak. Engkau lebih berhak aku datangi hari ini.” Setelah dipersilakan masuk, Said langsung mengutarakan maksud kedatangannya. “Sesungguhnya anak perempuanku telah sah menjadi isterimu sesuai dengan syari’at Allah swt. sejak tadi pagi. Dan aku tahu tidak ada seorang pun yang menemanimu, menghiburmu, dan melipur kesedihanmu, maka aku tidak ingin engaku bermalam pada hari ini di suatu tempat sedang isterimu masih berada di tempat lain. Sekarang aku datang dengan anak perempuanku ke rumahmu.” Lalu Said menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Masuklah engkau ke rumah suamimu, wahai Puteriku, dengan menyebut asma Allah dan memohon barakah-Nya.” Masuklah anak perempuan Said dan ketika melangkahkan kakinya nyaris keserimpet (terinjak gaunnya) hingga hampir jatuh karena saking malunya. “Sedang aku juga cuma berdiri di hadapanya kaget campur bingung tak tahu harus berkata apa,” kata Abu Wada’ah mengenang kejadian itu. Tapi kemudian ia cepat-cepat mendahului isterinya ke dalam ruangan, lalu ia jauhkan cahaya lampu dari sepotong roti yang memang tinggal segitu-gitunya supaya tidak terlihat oleh isterinya. Baru setelah itu ia keluar rumah memanggil ibunya untuk menemui menantu barunya.

Itulah keteladanan Said bin Musayyib yang menolak pinangan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Bani Umayyah yang ingin meminang putrinya. Ia malah segera menikahkan puterinya dengan Abu Wada’ah, mutarabbinya yang sederhana dan tidak diragukan lagi kualitas tarbiyahnya.

Lain lagi dengan kisah Imam Abu Hanifah. Ia dikenal dengan nama Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau seorang murabbi yang wajahnya selalu enak dipandang. Wajahnya berseri-seri. Pengtahuannya dalam. Manis tutur katanya, rapih penampilannya, dan selalu memakai wangi-wangian. Jika beliau datang ke majelis taklimnya, semua orang yang ada di situ sudah mengetahuinya sebelum mereka melihatnya lantaran semerbak wewangian yang dipakainya. Di samping cerdas, alim, faqih, beliau juga dikenal sebagai murabbi yang dermawan. Maklum, beliau seorang saudagar pakaian, kain, dan sutera. Beliau berdagang berkeliling dari kota satu ke kota lain di wilayah Irak.

Suatu ketika salah seorang muridnya datang ke tempat jualannya. Ia minta dicarikan baju, lalu beliau mencarinya sesuai dengan warna yang dimintanya. “Berapa harganya?” tanya sang murid. “Sedirham,” jawab Imam. “Satu dirham?” tanya sang murid heran. Itu sangat murah. “Ya, segitu.” “Yang benar nih….” kata muridnya lagi. “Aku tidak main-main. Aku beli baju ini dan yang serupa lagi dengannya seharga dua puluh dinar emas dan satu dirham perak. Yang satu aku sudah aku jual, sedang yang sisanya ini aku jual kepadamu dengan harga sedirham. Aku memang tidak mau mengambil untung terhadap murid-muridku.”

Suatu ketika Imam Abu Hanifah melihat salah seorang mutarabbinya berpakaian lusuh sehingga terkesan tidak enak dipandang. Setelah murid-murid yang lain keluar dari majelis, sehingga tidak ada seorangpun di dalam majelis itu selain Imam Abu Hanifah dengan mutarabbinya tersebut, beliau berkata kepadanya, “Angkatlah sajadah ini lalu ambil sesuatu yang ada di bawahnya.” Setelah diambilnya ternyata uang sebanyak seribu dirham. “Ambilah uang itu dan perbaikilah penampilanmu,” tegas Imam Abu Hanifah. Lalu kata orang itu, “Aku sudah cukup. Allah telah melimpahkan nikmatnya kepadaku. Aku tidak membutuhkan uang ini.” Dengan cerdasnya Imam Abu Hanifah menyanggah omongan mutarabbinya itu, “Jika memang benar-benar telah melimpahkan nikmatnya kepadamu, lalu mana bukti kenikmatan-Nya itu? Bukankah Rasulullah saw. bersabda, ‘Innallaha yuhibbu an yaraa aaatsara ni’matihi ‘ala ‘abdihi, sesungguhnya Allah swt. senang melihat bukti kenikmatan yang diberi-Nya terlihat pada hamba-Nya? Karena itu, sudah sepantasnya engkau memperbaiki keadaanmu agar engkau tidak membuat sedih saudaramu.”

Itulah beberapa keteladan ulama salafussalih dalam mentarbiyah para mutarabbinya.
Wallahu ‘alamu bisshawaab.