Al-Quran Digital dan Terjemahan Free Download. Software islami yang satu ini perlu dimiliki oleh setiap da'i dalam berdakwah. Dengan Al-Quran digital kita dapat lebih mudah membaca, mempelajari, dan mencari isi dan kandungan ayat Al-Quran.
Sebab dalam software Al-Quran Digital, kita dapat membaca Al-Quran secara digital plus dengan adanya terjemahan didalamnya. Dengan kemudahan tersebut menjadikan software ini layak anda miliki dan anda dapat mendownload Al-Quran Digital gratis melalui link berikut ini:
Link Download Al Quran Digital ver 2.1
Minggu, 29 April 2012
Kamis, 12 April 2012
Tafsir Ibnu Katsir
Penulis Kitab Tafsir ini adalah Imamul Jalil Al Hafiz Imadud Din, Abul Fida Ismail ibnu Amr Ibnu Kasir ibnu Dau' ibnu Zar'i Al-Basri Ad Dimasyqi atau lebih dikenal dengan nama ibnu Katsir (700H-774H), seorang ulama fiqih mazhab Syafii. Dalam menafsirkan suatu ayat, Ibnu Katsir terlebih dahulu mencari dan mengambil penjelasan dari ayat lain; apabila tidak didapat dari ayat itu, ia mengambil penjelasan dari hadis-hadis Nabi Saw. dan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi SAW dan para sahabat yang ada hubungannya dengan maksud ayat yang bersangkutan.
Berikut ini adalah link download Tafsir Ibnu Katsir:
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 1
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 2
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 3
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 4
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 5
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 6
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 7
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 8
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 9
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 10
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 11 (Surat At Taubah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 11 (Surat Yunus)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 12 (Surat Huud)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 12 (Surat Yusuf)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 13
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 14
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 15
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 16 (Surat Al Kahfi)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 16 (Surat Maryam)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 16 (Surat Thoha)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 17 (Surat Al Anbiyaa)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 17 (Surat Al Hajj)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 18 (Surat Al Mu'minuun)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 26 (Surat Al Ahqaaf)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 26 (Surat Muhammad)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 26 (Surat Al Fath)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 26 (Surat Al Hujuraat)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 26 (Surat Qaaf)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat Adz Dzariyat)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat Ath Thuur)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat An Najm)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat Al Qomar)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat Ar Rahman)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat Al Waqi'ah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 (Surat Al Hadiid)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Mujadilah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Al Hasyr)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Al Mumtahanah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Ash Shaf)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Al Jumu'ah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Al Munaafiqun)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Ath Thoghabun)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Ath Thalaq)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 28 (Surat Ath Tahrim)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Mulk)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Qolam)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Haqqoh)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Ma'arij)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Nuh)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Jin)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Muzammil)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Mudatstsir)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Qiyamah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Insaan)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 29 (Surat Al Mursalaat)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat An Naba)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat An Nazi'at)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al 'Abasa)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat At Takwir)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Muthoffifin)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Buruuj)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Ath Thoriq)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Ghasyiyah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Fajr)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Asy Syams)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Alamnasyrah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat At Tin)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al 'Alaq)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Qodr)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Bayyinah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Zalzalah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al 'Adiyat)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Qaari'ah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al 'Ashr)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Humazah)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Fill)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Quraisy)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Maa'uun)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Kautsar)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Kafiruun)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat An Nashr)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Ikhlas)
- Tafsir Ibnu Katsir Juz 30 (Surat Al Mu'awwidzatain)
Rabu, 04 April 2012
Pentafsiran Al Quran
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an
Sejarah Tafsir Al-Qur'an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :
Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
[sunting]Bentuk Tafsir Al-Qur'an
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
[sunting]Tafsir bi al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
"wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri...." (Surat Al Baqarah:187)
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:
"alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......" (Surat Al An'am: 82)
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
"innasy syirka lazhulmun 'azhiim" (Surat Luqman: 13)
Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).
[sunting]Tafsir bi ar-Rayi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.
[sunting]Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
[sunting]Metodologi Tafsir Al-Qur'an
Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.
[sunting]Metode Tahlili (Analitik)
Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
[sunting]Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
[sunting]Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
[sunting]Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
[sunting]Macam Tafsir Al-Qur'an
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
“ Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat. ”
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :
Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.
Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.
[sunting]Perkembangan
Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.
[sunting]Tafsir terkenal antara lain
'Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Syi’bi tiga tahun sebelum hijrah, ada yang mengatakan lima tahun sebelum hijrah, dan wafat di kota Thoif pada tahun 65 H, dan ada yang mengatakan tahun 67 H, dan ‘Ulama’ Jumhur mengatakan wafat pada tahun 68 H., banyak melahirkan beberapa tafsir yang tidak terhitung jumlahnya, dan tafsiran beliau dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Tafsir ibnu Abbas. Di dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat dan metode yang berbeda-beda, namun yang paling bagus adalah tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah Al Hasyimi.
Mujahid bin Jabr, dilahirkan pada tahun 21 H, pada masa ke pemimpinan Umar bin Khattob, dan wafat pada tahun 102/103 H. sedangkan menurut Yahya bin Qhatton, beliau wafat pada tahun 104 H., termasuk tokoh tafsir pada masa tabi’in sehingga beliau dikatakan tokoh paling ‘alim dalam bidang tafsir pada masa tabi’in, dan pernah belajar tafsir kepada Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.
Atthobari, bernama lengkap Muhammad bin Jarir, di lahirkan di Baghdad pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H. karangan-karangannya adalah Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Tarikhul Umam Al muluk dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.
Ibnu Katsir, bernama lengkap Isma’il bin Umar Al Qorsyi ibnu Katsir Al Bashri. Di lahirkan pada tahun 705 H. dan wafat pada tahun 774 H. termasuk ahli dalam bidang fiqih, hadist, sejarah, dan tafsir, karangan-karangannya adalah Al Bidayah Wan Nihayah Fi Tarikhi, Al Ijtihad Fi Tholabil jihad, Tafsirul Qur’an, dan lain-lainnya.
Fakhruddin Ar Rozi, bernama lengkap Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin yang terkenal dengan sebutan Ibnul Khotib As Syafi’i, lahir di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga mendalami ilmu filsafat dan mantiq, karangannya adalah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.
[sunting]Ilmu yang terkait dengan Ilmu Tafsir
Lughat (fitologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
Sharaf (perubahan bentuk kata)
Isytiqaq (akar kata)
Ma'ani (susunan kata)
Bayaan
Badi'
Qira'at
Aqa'id
Ushul Fiqih
Asbabun Nuzul. Asbabunnuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.
Nasikh Mansukh
'Fiqih
Hadits
Wahbi
Menjadi Keluarga Allah
Diakui atau tidak, era modern telah menggiring sebagian besar umat Islam hanyut dalam kesibukan duniawi. Nyaris waktu 24 jam tersita untuk urusan kerja, bisnis, ataupun beragam kegiatan lainnya. Bahkan, karena begitu sibuknya, tidak sedikit di antara Muslim yang mulai meninggalkan kitab sucinya, Alquran, baik meninggalkannya dalam arti mulai jarang membaca, memahami, menadaburi, maupun meninggalkannya dalam arti tidak lagi begitu antusias untuk menata hidup dengan menerapkan nilai-nilainya.
Alquran tidak lagi menjadi panduan dalam memandang hidup dan kehidupan ini. Akibatnya, sangat jarang atau mungkin sangat langka pada zaman ini kita menemukan seorang Muslim yang ucapan dan perbuatannya benar-benar sesuai dengan kandungan Alquran.
Sebaliknya, cukup banyak umat Islam yang mulai asing dengan kitab sucinya. Padahal, Alquran adalah mukjizat akhir zaman yang dijamin kebenaran dan keautentikannya oleh Allah SWT. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS 15: 9).
Oleh karena itu, tidak semestinya seorang Muslim membiarkan diri jauh dari Alquran. Setidaknya, kecintaan terhadap Alquran harus selalu kita upayakan terjaga dan terpelihara setiap saat, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun.
Sebab, Allah SWT memberikan banyak keutamaan bagi kaum Muslimin yang mau membaca dan menadaburi Alquran. Satu di antara keutamaan membaca Alquran adalah berupa pahala yang besar. “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS 17: 9).
“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dengannya ia akan mendapat satu kebaikan; satu kebaikan dilipatgandakan menadi sepuluh kali; aku tidak mengatakan alif lam mim adalah satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud ra).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW menegaskan bahwa mempelajari Alquran itu sangat besar pahalanya. “Hendaklah seorang di antara kamu berangkat setiap hari ke masjid, lalu mempelajari dua ayat dari Kitabullah (Alquran). Itu lebih baik baginya daripada dua ekor unta. Jika bisa tiga (ayat), ya tiga (ayat), hadiah untanya sebanyak jumlah ayat-ayat (yang dipelajari) itu.” (HR Muslim).
Hal ini sudah cukup memberikan satu argumentasi yang sangat kuat bahwa seyogianya umat Islam itu mentradisikan diri untuk selalu membaca Alquran. Sesibuk apa pun, setiap Muslim wajib membaca dan menadaburi Alquran.
Alquran adalah firman Allah SWT. Membacanya akan mendatangkan pahala besar, menadaburinya akan meneguhkan keyakinan, dan mengamalkannya akan mengundang keridaan Allah SWT. Bahkan, Allah SWT akan menjadikan mereka sebagai anggota keluarga-Nya. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia. Beliau ditanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Rasul SAW menjawab, ‘Mereka adalah ahlul Qur’an, mereka adalah keluarga Allah, dan orang-orang khusus-Nya.’” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Peran Tarbiyah Dalam Membentuk Militansi Kader
Adalah Abdulloh bin Rowahah RA, seorang sahabat yang ketika diangkat oleh Rosululloh SAW menduduki sebuah jabatan panglima dalam perang Mu’tah, Ia menerimanya dengan tangis dan cucuran air mata. Lalu para sahabat lainnya bertanya : “Maa yubkika ya… Abdalloh…” (Apa gerangan yang membuat engkau menangis wahai Abdulloh…), Iapun menjawab : “Wa maa bia hubbuddunya walaa shabaabatan bikum walaakin tadzakkartu hina dzakaranii Rosulullohu biqoulihi ta’ala : Wa in minkum illaa waariduhaa kaana alaa Rabbika Hatman Maqdhiyya” (Tidak ada pada diriku cinta dunia dan keinginan untuk dielu-elukan oleh kalian, akan tetapi aku hanya teringat ketika Rosululloh mengingatkanku dengan firman Alloh SWT : “Dan tidaklah dari kalain melainkan akan mendatanginya (neraka jahannam) adalah yang demikian itu bagi Tuhanmu (ya! Muhammad) merupakan ketentuan yang telah ditetapkan”. (QS. Maryam : 71).
Dari ungkapan Abdulloh bin Rowahah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beliau mentadabburkan ayat al-qur’an begitu dalam, sehingga beliau mengaitkan erat ayat tersebut dengan amanah jabatan yang baru saja dipangkuanya, apakah jabatannya kelak dapat menyelamatkannya ketika masing-masing orang mau tidak mau harus melewati “Shirothol Mustaqim”, karena menghadapi neraka Jahannam dengan melewatinya adalah “Hatman Maqdhiyya”, ketentuan yang telah ditetapkan, tidak ada jalan alternatif lain dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
“Hatman Maqdhiyya” juga berlaku dalam kaidah Tarbiah sebagai sebuah proses dalam proyek kebangkiatan umat dan pembangunan peradaban, oleh karenanya Tarbiyah memiliki sifat “Hatmiyyah”, sifat keniscayaan, dengan kata lain bahwa Tarbiyah suatu keniscayaan adala sebuah keharusan, atau ketentuan yang harus dipenuhi, konsekwensi yang harus dijalankan, tidak dapat ditawar dan tidak bisa tergantikan dengan apapun. Walhasil untuk dapat istiqomah di jalan da’wah serta mencapai target dan sasarannya, hanya ada satu jalan : Tarbiah!. Karena Tarbiyah adalah jalan yang dikehendaki oleh Alloh SWT untuk diikuti ( QS. 6 : 153 ), dalam rangka melahirkan kader-kader generasi Rabbani (Generasi-generasi yang tertarbiyah) yang senantiasa antusias mengajarkan Al-qur’an dan mempelajarinya ( QS. 3 : 79).
Ada dua aspek penting yang mendasari mengapa tarbiyah menjadi point penting saat ini.
1. Ketika dakwa memasuki Marhalah Siyasiyah (Spektrum Politik)
Ketika dakwa memasuki marhalah ini maka dakwa akan berkosentrasi pada pertambahan jumlah (Kuantitas). Tapi berkosentrasi pada pertambahan jumlah sering mengakibatkan kualitas kader menjadi lemah. Sejarah mencatat umat islam selalu menang dengan jumlah yang sedikit. Misalnya pada perang thalut melawan jalut sebagaimana Allah mengisahkan Hal ini dalam Al-Qur’an :
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. al-Baqarah: 249)
Hal yang sebaliknya terjadi ketika umat islam justru dikalahkan saat memiliki kuantitas yang banyak seperti disaat perang hunain, ada salah satu pasukan perang di kaum muslimin mengatakan “kita tidak akan pernah lagi kalah karena jumlah yang sedikit, dan Allah mengingatkan hal ini dalam Al-Qur’an:
Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. (QS : At Taubah 25)
Maka ketika dakwa memasuki Spektrum Politik dimana membutuhkan Peningkatan Aspek Kuantitas maka peran Tarbiyah justru harus lebih dominan sebagai bagian dari peningkatan kualitas kader.
2. Ketika semakin luas capaian dakwa
Sehatnya Tarbiyah akan sangat membantu distribusi kader pada medan dakwa yang semakin luas. Sejarah telah mencatat bagaimana Mus’ab bin Umair dikirim ke madinah seorang diri untuk membina masyarakat madinah saat itu dan hasilnya luar biasa.
Dalam konteks dakwa kampus, ekspansi LDK membentuk LDF ditingkatan fakultas adalah bagian dari semakin luasnya capaian dakwa, begitupun ketika KAMMI meluaskan jaringan komisariat dikampus atau perluasan KAMMI Wilayah. Maka semakin luasnya capaian dakwa seharusnya penigkatan Tarbiyah harus diprioritaskan, agar capaian ini tetap berjalan maksimal.
Bagaimana Mencapai Militansi kader dengan tarbiyah?
Dua aspek penting yang menjadi pengokoh tarbiyah :
1. Aspek Murabi dimana Murabi adalah Pemimpin Tarbiyah
2. Aspek Manhaj dimana Manhaj adalah Panduan bagi perjalanan Tarbawi menuju Tarbiyah Muntijah.
Aspek Murabi dan Manhaj harus selalu diperhatikan agar proses Tarbiyah dapat berjalan Maksimal. Selanjutnya Apa yang harus kita lakukan sekarang?
1. Kesungguhan Kader untuk memperkuat jaringan Tarbiyah.
Tahap ini adalah Tahap setelah Recriuitmen, Tahap setelah BIS I. Kaderisasi harus optimal dalam hal ini dan ini perlu didukung oleh Seluruh Kader
2. Mempertahankan dan Menumbuhkan sasaran tarbawai yang baik, disinilah yang dimaksud dengan penguatan Murabi,
3. Evaluasi Menyeluruh disetiap struktur Tanzim/Organisasi.
Sampai saat ini dalam Manhaj kita, satu-satunya cara yang diyakini mampu untuk mewujudkan kader yang berkualitas adalah: tarbiyah!
Tarbiyah adalah jalan kita, ciri khas kita, dengan Tarbiyah kita tumbuh, dengan tarbiyah kita berkembang dan dengan tarbiyah kita meraih kemenangan.
Langganan:
Postingan (Atom)