Mbak Zahra, Mbak Zaza, Mbak Ara, Mbak Cinta, dan Mbak Bidadari.
Begitulah panggilanku kepada si Mbak ini. Beberapa tahun lebih tua, Mbak Zahra sudah kuanggap seperti kakak sendiri.
Kami bertemu pertama kali di suatu sore, dimana saat itu hari pertamaku berpindah halaqah ke lain kelompok. Delapan matahari. Begitulah kusebut kelompok itu. Mbak Zahra adalah teman satu halaqah di Delapan matahari.
Di sana aku 'anak bawang'. Paling kecil, paling belakang bergabung, juga paling sering digoda-goda oleh semua Mbak. Mbak Fina, sudah dua tahun menikah dan memiliki 1 orang anak. Mbak Asya, Mbak Tari, Mbak Lulu, pengantin baru. Tinggal Aku, Mbak Zahra, dan Mbak Mia.
Mbak Zahra lebih tua 5 tahun dariku, Mbak Mia lebih tua 3 tahun dariku. Itulah otomatis, mengapa seringkali aku sering jadi objek goda-godaan mereka.. karena aku 'anak bawang'. Hmmpp.. nasib..
Delapan matahari. Kusebut begitu, sebab aku tidak pernah benar-benar menganggap mbak-mbak itu kawan satu halaqah. Mereka semua murobbiku, include Bu Laila. Meski sebenarnya posisi kami setara saja di dalam halaqah, tapi aku tetap merasa tak terlalu berhak menyetarakan diri.
Secara umur kami berbeda jauh. Namun aku senang, setidaknya pembicaraan kami nyambung. Aku pun cukup mengerti saat kadang mereka bercanda atau juga saat diskusi mengenai urusan mereka. Apakah itu cara belanja hemat, tips-tips mendidik anak, atau juga saat mereka berdiskusi tentang 'Mengapa para suami tidak mau mencuci piring sehabis makan?'. Hahaha.. Aku hanya mendengar saja. Paling jauh aku hanya ber-Oooo panjang, atau berceletuk 'Oh gitu ya?', atau juga hanya men-save saja pengetahuan tersebut di dalam otak. Aku anak bawang.
Mbak Mia, sejak dulu memang tidak mau menikah cepat. Di usianya yang 25, Mbak Mia sangat sibuk dengan karirnya. Ia terobsesi menjadi dosen, oleh karena itu saat ini sedang intens sekali menjadi asisten laboratorium dan kuliah doktoralnya. Meskipun aku tahu sekali, banyak ikhwan yang 'mengantri' menunggu si Mbak, apakah itu disampaikan kebada Bu Laila, ataupun langsung kepadanya. Namun Mbak Mia bersikukuh menolak. Ia hanya berkata ringan : belum saatnya. Sedang Mbak Zahra.. aku tak tau. Aku pun masih bertanya-tanya dalam hati, namun tidak berani untuk bertanya langsung.
Hingga suatu ketika, Mbak Zahra dan aku datang lebih awal dalam pertemuan pekanan kami. Ia tiba-tiba mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasnya. Mataku membesar, berusaha dengan kuat untuk melihat nama di depan undangan tersebut sesaat setelah si Mbak mengeluarkannya dari dalam tas. Tapi bukan nama Zahra yang ada di sana, tapi Pinkan.
Mbak Zahra kemudian berujar, "Khansa.. kenal Pinkan kan?".
Memori otakku menggugel, mencoba untuk mengingat-ingat seseorang bernama Pinkan.
'Oohh.. Pinkan yang kuliahnya di Trijaya kan, Mbak? Binaan Mbak Zahra kan???".
Aku ingat! iya, Pinkan. Akhowat berkulit putih bermata bulat, binaan Mbak Zahra sejak beberapa bulan ini. Santai saja, kemudian aku berceletuk,
"Hayoo looh Mbakk.. keduluan sama mutarobbinya loh Mbakkk.. Kapan menikah nih Mbak? Kapan nih Mbak? Hihihihi"
Tanpa dinyana, air mata Mbak Zahra kemudian berubah.
Sesaat aku panik, juga merasa bahwa ada yang salah dari candaanku tadi. Belum sempat Mbak Zahra bicara lagi, kemudian aku meralat,
"Eh.. eh.. eh Mbak... Mbak Zahra.. Mbak Bidadari.. Mbak ku tersayang.. Khansa cuma bercanda Mbakk.. hehe.. jangan diambil serius lho, Mbakk.. ", kataku sambil mengibas-ngibaskan tangan tanda bercanda.
Mbak Zahra tidak berkata apapun. Sesaat kemudian tampak butiran-butiran air mata mengalir dari matanya. Makin lama, makin deras. Ia menangis!
Aku paniiiikkkk sekali. Ya Allah..!! aku telah salah ucap!
"Mbaaaaakkkkkk... Mbak.... maafin Khansa Mbakk... Khansa ga' sengaja.. cuma bercanda, Mbakkk.."
Aku sungguh menyesal. Namun air ludah terlanjur basah. Ia tidak akan kering dalam sekejap. Memang benar kata hadits, bahwa jika kita tidak dapat berkata yang baik, maka lebih baik diam saja. Ya Allah.. aku menyesal sudah membuat Mbak Zahra yang sangat baik, menangis.
Sekitar satu menit Mbak Zahra menangis. Setelah itu air matanya berangsur-angsur surut. Ia kemudian berkata,
"Nggak kok.. nggak..
Khansa ga salah apa-apa..
Mbak nangis, sedih ingat Pinkan. Sedih karena Mbak rasa semestinya Pinkan bisa dapat ikhwan yang lebih baik. Dika, calon suami Pinkan ini akhlaqnya kurang baik. Ia masih ikut genk motor, juga bicaranya kasar. Hanya saja Pinkan mungkin menerima Dika karena orang tua mereka akrab. Ya Rabb.. padahal Mbak sudah berpikir beberapa kemungkinan, kalau-kalau Pinkan bisa menikah dengan salah satu ikhwan yang Mbak pikir bisa mengakselerasi da'wah Pinkan.. Mbak jadi sedih, terlebih sedih karena Pinkan binaan Mbak.."
"Ya Allah.. Mbak Bidadari.. Mbak Ara..!! Khansa kira Mbak nangis gara-gara Khansa bilang keduluan mutarobbi.. Mbakk...".
Sekonyong-konyong aku tertawa terpingkal-pinkal. Menyadari bahwa di dalam kepala kami sedang diputar sinetron yang berbeda dengan tokoh Mbak Zahra di dalamnya. Aku kemudian menggelitik Mbak Zahra. Mbak Zahra terpingkal-pingkal pula dan memohonkan ampun agar aku kemudian berhenti menggelitik.
Sesaat kemudian, aku memberanikan diri, menanyakan hal yang selalu aku simpan dalam hati.
"Mbak Zaza.. Mbak Cinta.. emm..hmm..eu.. Khansa mau nanya, Mbak.. kenapa.. eeu.. hmm, selama 27 tahun ini Mbak ngga segera menikah aja Mbak?"
DUARRRR... hatiku rasanya ingin meledak!
Sungguh ini adalah sebuah pertaruhan yang nyata.
Ada dua kemungkinan :
1. Mbak Zahra akan menjawab seperti biasa tak merasa keberatan ditanya seperti itu,
2. Mbak Zahra tersinggung, lalu pertemanan romantis kami selama ini akan lenyap.
Mbak Zahra diam sejenak. Ia kemudian berkata,
"Dulu, ketika Mbak masih kuliah.. Mbak punya cita-cita, ingin lulus kuliah di hari ulang tahun Mbak..Eh, ternyata, yang lulus kuliah pas hari ulang tahun, itu adik Mbak, Rosita... Dulu juga, Mbak punya cita-cita, setelah lulus kuliah Mbak mau menikah..
Eh, ternyata, yang setelah lulus kuliah langsung menikah itu, tante Mbak..
Mbak merasa, Mbak tidak pernah mendapatkan apa yang Mbak cita-citakan. Namun Mbak bahagia, ternyata Allah memberikan ganti yang lebih baik daripada apa yang Mbak minta, yaitu kebahagiaan orang-orang yang Mbak sayangi..
Kebahagiaan Rosita, kebahagiaan Tante..
mungkin itu adalah jawaban Allah atas doa-doa Mbak..
Allah ganti dengan hal yang lebih baik.."
Lalu aku mendapatkan jawaban pertanyaanku dari jawaban diplomatis Mbak Zahra itu.
Bahwa selama ini, bukannya Mbak Zahra menunda untuk menikah, hanya saja ia mungkin belum menemukan orangnya. Tak pernah ia menunda, juga tak pernah ia berpikir untuk tidak menikah. Sekali lagi, ia hanya belum menemukan orangnya.
Aku terdiam. Hatiku rasanya tersungkur jauh.
Mbak Zahra.. sungguh aku belajar banyak dari Mbak..
Inilah yang namanya Itsar, saling mendahulukan, termasuk juga mendahulukan senang terhadap kebahagiaan saudaranya daripada kebahagiaannya sendiri. Tidak sehelai rambut pun ia iri pada kebahagiaan orang lain, meskipun kebahagiaan tersebut adalah sesuatu yang amat sangat diinginkannya. Mbak Zahra, juga mengajarkan, bahwa mungkin saja kebahagiaan orang-orang yang kita sayangi adalah pengganti dari Allah atas kebahagiaan kita yang tertunda.
Ya Allah.. betapa ternyata mungkin ini yang namanya puncak dari ukhuwah..
Dan kemarin, aku menjadi saksi bahwa janji Allah tidak pernah salah. Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya. Mbak Zahra menikah!
Mbak Zahra begitu cantik dengan kebaya putihnya, beserta jilbab lebar sebagaimana yang ia gunakan sehari-hari.
Setelah 27 tahun bersikukuh pada prinsip dan juga ketawakkalannya, mungkin hari itu Mbak Zahra sedikit dapat bernapas lega.
Jika selama ini aku mengenal beberapa orang teman yang sangat ingin menikah dan Allah belum mengabulkannya, kemudian lantas 'merusak' izzahnya sebagai muslimah tarbiyah dengan hal-hal yang ia anggap sebagai 'pemberontakan' atas takdir Allah yang belum berpihak,
maka mungkin cerita ini bisa jadi sebuah renungan..Bahwa hid
up harus terus berjalan, dengan atau tanpa orang yang menyertai. Tidak boleh menggantungkan amal kita kepada makhluq, karena ini termasuk permasalahan aqidah.
Teruslah beramal, teruslah berkarya..
Juga renungkanlah lagi, sebenarnya kebahagiaan orang-orang yang kita sayangi bisa jadi adalah pengganti yang lebih baik atas apa yang kita inginkan.
Mbak Zahra.. i love you so much.. uhibukkifillah.
-inspired by a true story-
Linda Studiyanti