Selasa, 19 November 2013

Dilema Ketika Menyebut Asma Allah

99-nama-allah

 

                                         Ghazi Azhari S – Alumni Rohis SMP 2 Bandung – KRM Miftahul huda
 

Tatkala seorang bocah, sedang berjalan bersama teman-temannya. Tiba-tiba bocah ini mengangkat kakinya dengan ekspresi yang terkejut kesakitan. Teman-temannya yang sedang dalam suasana tawa canda pun terhentak dengan gerakan refleks si bocah tadi dan terkejut dengan perlakuan mendadak si bocah tadi yang seraya berkata,

“Ya Allah Gusti nu Agung, suku urang kacugak euy..! (Ya Allah, Yang Maha Besar, kakiku tertusuk duri!)”Kalo melihat fenomena di atas , kira-kira apa yang kita tangkap dari kejadian tersebut nih, sahabat? Hmm.. Si Bocah kecugak terus laporan ke temennya? Si Bocah ngagetin temen-temennya? Si Bocah kakinya berdarah? Atau apa yang sebenernya membuat cerita itu akan menjadi dasar bahasan nadahati edisi ini?

Yup, saya sekarang bakal ngebahas tentang sesuatu yang dikatakan oleh Bocah tersebut diakhir cerita tadi, nadahati bakal bahas tentang, “Ya Allah Gusti nu Agung, suku urang kacugak euy..!”

Bukan masalah grammar bahasa Sunda yang kita bahas disini. Tapi yang kita bahas sekarang adalah kalimat pertama yaitu, “Ya Allah Gusti nu Agung”.

Yap, sebuah fenomena menarik penulis coba amati, bahwa seringkali terdengar ucapan menyebut asma Allah dikatakan sebagai penyerta sebuah peristiwa-peristiwa atau kejadian yang mengejutkan. Mending kalo yang mengejutkannya itu dapet rezeki yang banyak, dapet keuntungan melimpah, dapet nilai bagus, atau dapet jodoh di suatu tempat yang gak kita duga (Ehm..), nah ini nyebut asma Allah saat menghadapi sebuah kejadian mengejutkan yang berbau negatif, contoh Dapet nilai jelek, kecugak kayak tadi, keilangan uang, dan berbagai kenegatifan lainnya yang seringkali kita menyisipkan asma Allah saat berungkap terkejut bereaksi atasnya.

Ungkapan Allah di kejadian negatif seperti ini nih, yang biasanya kita lanjutkan dengan kata-kata yang kurang enak di dengar, apalagi hingga menyalahkan Allah SWT sendiri yang jelas-jelas memberikan kejadian itu sebagai takdir terbaik bagi kita. Bukti? Seberapa sering kita mendengar,
“Yaaa.. Usahaku bangkrut lagi, Ya Allah mana sifat kasih sayang-Mu, mana sifat dermawan-Mu, mana Keadilan-Mu?!” (Naudzubillah)

Lantas mungkin Allah membalas,
“Ehh.. baru mau gue kasih banget nih.. Udah mesen malaikat mikail lho buat nyampein nikmatnya.. Tapi keburu ente ngomong gitu, gak jadi dah nikmat BMW, rumah 2M, tanah Luas, Perusahaan yang lebih baik..”

Lah kan, nihil..

Ya, tapi masih mending juga nih sahabat cerita bocah di awal tadi, ketika dapet musibah masih inget Allah dan menyebut asma-Nya. Daripada sekarang, anak-anak muda masih sering terdengar menggantikan asma-Nya dengan kalimat hewan-hewan peliharaannya..

“Eh, si **j***, konci motor aing dimana euy??”, “Ari si, ****o*, ulangan urang butut wae yeuh..”
Dan ungkapan-ungkapan sensor lain yang masih banyak variasinya.

Bukan sebuah kesalahan, kita menyebut nama Allah saat kita menghadapi peristiwa-peristiwa mengejutkan. Tapi yang sering menjadi sebuah kesalahan adalah, rasa saat kita menyisipkan asma Allah di setiap kata-kata pengiring keterkejutan kita.

Saat kita berucap, “Ya, Allah ya Rabb, penghapus karet saya yang harganya Rp. 6.000 kemana yah??”
Taruhan, lebih inget mana, Allah Yang Maha Memiliki Penghapus, Yang Maha Membalas ilangnya penghapus 6.000-an dan menggantikannya dengan yang harganya 7.000. Lebih inget mana ama penghapus 6.000 yang kita cemaskan kehilangannya, yang ampe kita nyalahin temen sekelas akan hilangnya penghapus itu? Pasti lebih inget penghapusnya kan. Nah di sinilah, mana rasa menyebutnya nama Allah Ya Rabb saat penghapus kita ilang, Allahuakbar saat melihat gedung yang tinggi, Innalillahi saat melihat temen keselek lagi makan cendol (Yang keselek bukan cendolnya, tapi sendoknya lho), mana rasa takut, getaran hati, rasa yang memiliki dan menentukan segala sesuatu itu Allah, rasa bahwa kita kecil dan gak lebih dari sekadar buih di lautan rahmatnya Allah.

Sahabat, berucap istighfarlah, saat berbuat sebuah kekhilafan, berucap hamdalahlah, saat mendapatkan nikmat yang sering kali tak kita duga kehadirannya, berucap tasbihlah saat kita melihat sebuah keindahan yang megah hasil ciptaan-Nya, berucap takbirlah saat menyadari bahwa kita hanyalah seonggok makhluk yang hina tapi seringkali merasa suci, berucaplah banyak asma Allah dan mengingat-Nya, saat kita mendapati kejadian apapun.

Tapi.. Jadikanlah ucapan itu adalah ucapan yang bersumber dan berakibat dari hati kita. Bukan sekadar akibat dari sebuah impuls mengejutkan yang hanya melewati saraf konektor dan diterima sebentar di sumsum tulang belakang lantas dikeluarkan secara cepat oleh saraf motorik mulut kita alias gerak refleks. Jadikanlah Berucap Allah itu amalan hati, yang begitu diresapi, begitu dihayati, sehingga pada ujungnya ucapan-ucapan seperti itu menjadi amalan dzikir bagi kita, bukan hanya sebagai ucapan yang keluar dari mulut kita lantas menjadi layaknya debu yang berterbangan.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS Al-Anfaal : 2)
*Nadahati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar